Penggabungan tersebut menjadikan BCA dikenal sebagai bank devisa. Status tersebut kemudian dimanfaatkan untuk mengajukan izin kepada Bank Indonesia (BI) pada tahun 1980-an agar dapat menerbitkan dan mendistribusikan kartu kredit atas nama BCA yang berlaku secara internasional.
Menukil dari laman resmi BCA, bank ini secara agresif memperluas jaringan kantor cabangnya mengikuti deregulasi sektor perbankan di Indonesia pada tahun 1980-an pula. Bank BCA mulai mengembangkan berbagai produk dan layanan, serta meningkatkan informasi teknologi dengan menerapkan sistem online untuk jaringan kantor cabangnya.
Adapun bentuk pengembangan sistem teknologi yang dilakukan BCA adalah berupa Anjungan Tunai Mandiri (ATM). BCA menggandeng PT Telkom untuk memaksimalkan penggunaan ATM, dengan bentuk kerja yang sama berupa pembayaran tagihan telepon yang dapat dilakukan melalui ATM BCA.
Selain Telkom, BCA juga turut menggandeng Citibank dalam kerja sama untuk memudahkan para penggunaan kartu Citibank dalam membayar tagihan melalui ATM BCA. Bukan hanya itu, BCA turut meluncurkan program Tabungan Hari Depan (Tahapan) BCA di tahun yang sama.
Baca Juga: Kredit BCA Tumbuh 17,1% di Kuartal I 2024, Laba Bersih Rp12,9 Triliun
Dari Salim Group dan ke Djarum Group
Masih mengutip dari laman yang sama, Presiden Megawati menyetujui untuk menjual 51% saham BCA kepada publik saat situasi mulai mereda pada tahun 2002. Dari 15 calon pembeli, hanya tersisa empat, yakni Standard Chartered Bank, perusahaan investasi AS Farallon, Bank Mega, dan konsorsium Indonesia yang dipimpin koperasi produsen batik.
Singkat cerita, Bank Mega gagal dan hanya Standard Chartered Bank dan Farallon yang lolos ke putaran final sebagai calon pembeli saham BCA. Hingga akhirnya, Farallon berhasil memenangkan persaingan dan membeli BCA seharga US$530 juta.