Usulan pengambilalihan paksa 51 persen saham PT Bank Central Asia Tbk (BCA) oleh pemerintah menuai penolakan keras dari sejumlah ekonom. Mereka menilai wacana tersebut berbahaya, tidak adil, dan berpotensi menghancurkan stabilitas perbankan maupun perekonomian Indonesia.

Wacana ini berangkat dari polemik lama seputar penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada akhir 1990-an. Namun, sejumlah pengamat menilai bahwa upaya mengaitkan BCA dengan isu BLBI saat ini tidak tepat. Pasalnya, status hukum dan proses divestasi BCA dinilai sudah tuntas sejak era pemerintahan Presiden Megawati.

Dengan demikian, siapa saja ekonom yang menolak keras terkait usulan perampasan 51 persen saham BCA oleh pemerintah ini? Berikut daftarnya:

Yusuf Rendy Manilet

Peneliti Ekonomi Core Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengingatkan bahwa usulan tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian besar terhadap kepemilikan dan kontrol manajemen.

Baca Juga: Jahja Setiaatmadja Lepas 1 Juta Saham BCA, Ini Tujuannya

“Pengalihan saham mayoritas ke pemerintah tentu memiliki potensi mengubah BCA dari bank swasta independen menjadi entitas yang lebih terpengaruh oleh kebijakan negara. Hal ini tentu saja dapat mengganggu strategi bisnis jangka panjang, seperti inovasi digital dan ekspansi,” jelas Yusuf.

Ia juga menyoroti kemungkinan intervensi pemerintah yang dapat mengubah arah kebijakan perusahaan. Jika hal itu terjadi, terlalu berisiko untuk industri perbankan Tanah Air.

“Risiko kedua adalah volatilitas harga saham dan mungkin kepercayaan investor. Jika hal ini terjadi, dampaknya akan sangat serius bagi industri perbankan kita,” tambahnya.

Eko B. Supriyanto

Pandangan lebih keras disampaikan oleh Pimpinan Redaksi Infobank Media Group, Eko B. Supriyanto. Dalam tulisannya di laman berita Infobank, ia menyebutkan bahwa akuisisi paksa saham BCA sama saja dengan menyalakan “bom waktu” dalam sistem keuangan nasional.

Baca Juga: Jahja Setiaatmadja Ungkap Budaya ‘Mau Repot’ Jadi Kunci Layanan Istimewa di BCA

“BCA adalah simbol tata kelola bank modern: efisien, inovatif, dan dikelola profesional. Kapitalisasinya Rp1.193 triliun, tertinggi di ASEAN. Jika hak kepemilikan bisa digasak negara kapan saja, maka modal asing akan kabur, pasar modal kolaps, dan krisis likuiditas pun tak terhindarkan,” tegas Eko.

Ia bahkan menyebut langkah tersebut sebagai “pengkhianatan terhadap kedaulatan hukum”. Menurutnya, negara wajib jadi wasit adil, bukan preman yang merampas aset swasta. “Jika aturan main diobrak-abrik, Indonesia akan dicap negara ‘preman’ oleh komunitas global—investasi pun mengering,” katanya.

Selain itu, Eko juga menilai dampak lain yang lebih luas, mulai dari hilangnya nilai portofolio reksadana dan dana pensiun rakyat kecil, risiko mismanagement negara, hingga hilangnya daya saing inovasi digital banking. Menurutnya, hal ini bukan solusi, melainkan pengalihan isu yang berbahaya.