Respons KCIC

Pihak PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC), selaku pelaksana proyek, menyatakan keterbukaannya terhadap langkah penyelidikan KPK.

General Manager Corporate Secretary KCIC, Eva Chairunisa, menegaskan komitmen perusahaan untuk mendukung penuh proses hukum.

“KCIC sangat terbuka jika ada pemeriksaan dari instansi-instansi yang berwenang,” kata Eva, dikutip dari Disway.id.

Eva menambahkan, seluruh pembiayaan proyek dilakukan sesuai mekanisme resmi.

“Pada masa konstruksi, semua pembiayaan melalui mekanisme yang telah ditetapkan. Kami siap bekerja sama dengan KPK untuk mendukung penyelidikan ini,” ujarnya.

Pandangan Pengamat

Kasus dugaan mark-up ini juga mengundang perhatian para pengamat hukum dan ekonomi.

Pakar hukum pidana dari Universitas Tarumanegara (Untar), Hery Firmansyah, menilai penyelidikan KPK sangat penting, terutama jika terbukti ada keuntungan pribadi atau kerugian negara.

“Jika ditemukan tindak pidana seperti kickback atau kerugian negara yang menguntungkan pihak tertentu, tentu bisa dijerat dengan pasal pidana,” papar Hery, dikutip dari Inilah.com.

Hery menambahkan, dasar hukum semakin kuat jika proyek ini terbukti dibiayai oleh APBN.

“Kalau ada dana APBN di situ, penegak hukum punya dasar kuat untuk melakukan penindakan,” jelasnya.

Namun, ia juga mengingatkan agar KPK berhati-hati dan memastikan adanya bukti kuat sebelum menaikkan kasus ke tahap penyidikan.

Sementara itu, Managing Editor PEPS (Political Economy and Policy Studies), Anthony Budiawan, lebih keras menyoroti langkah KPK yang dinilainya terlalu pasif.

“Sejak awal proyek KCJB banyak masalah dan sarat dugaan korupsi. Sangat aneh kalau KPK masih mempertanyakannya,” paparnya, dikutip dari Monitorindonesia.com.

Anthony bahkan menyebut KPK tidak kompeten jika terus menunggu laporan masyarakat untuk bertindak.

“Kalau KPK menunggu masyarakat melapor atas dugaan korupsi yang sudah jelas di depan mata, itu mencerminkan komisioner KPK saat ini memang tidak kompeten,” tegasnya.

Menurut Anthony, dugaan mark-up proyek ini mencapai 20–60 persen, terutama setelah Indonesia beralih dari penawaran Jepang ke China dengan nilai proyek yang terus meningkat.

“Penawaran awal China US$5,5 miliar, lalu naik jadi US$6,02 miliar, mendekati Jepang yang US$6,2 miliar. Tapi proyeknya tetap diambil China. Janjinya tak ganggu APBN, nyatanya sekarang APBN ikut menanggung,” ujarnya.

Anthony menilai perubahan regulasi, seperti Perpres 93/2021 dan PMK 89/2023, menjadi bukti bahwa proyek ini akhirnya tetap disokong dana negara.

“Kini terbukti, proyek yang awalnya diklaim tanpa APBN justru terus disuntik APBN,” tuturnya.

Baca Juga: Membandingkan Biaya Proyek Whoosh dengan Kereta Cepat Arab Saudi yang 10 Kali Lipat Lebih Panjang