Penyelidikan dugaan kasus korupsi dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung alias whoosh masih terus bergulir di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam penyelidikan yang berjalan sekarang ini, KPK mengendus adanya modus baru dalam kasus ini, selain dugaan markup harga, lembaga antirasuah ini menemukan indikasi jual beli aset negara, dimana tanah milik negara dijual lagi ke negara dalam proses pengadaan lahan proyek Whoosh. 

"Ada oknum-oknum di mana dia, yang bersangkutan itu, yang seharusnya ini milik negara tapi dijual lagi ke negara," kata Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu dilansir Selasa (11/11/2025).

"Jadi, kami tidak sedang mempermasalahkan Whoosh itu, tapi kami dengan laporan yang ada ini adalah ada barang milik negara yang dijual kembali kepada negara dalam pengadaan tanahnya ini," sambung Asep.

Baca Juga: Stop Bahas-Bahas Utang Whoosh, DPR Dukung Kereta Cepat Jakarta-Surabaya

Asep menegaskan bahwa praktik seperti ini jelas merugikan keuangan negara, karena proses pembebasan lahan seharusnya bisa dilakukan dengan biaya jauh lebih rendah. Meski demikian, KPK masih mendalami siapa pihak-pihak yang terlibat dan di mana lokasi tanah yang bermasalah.

"Nah, terkait yang mana pembebasan lahannya, apakah yang di Halim ataukah yang di Bandung itu (wilayannya, red) Tegalluar, nanti kita sama-sama tunggu," ujarnya, yang juga menjabat sebagai Direktur Penyidikan KPK.

Sebelumnya, KPK diketahui telah membuka penyelidikan atas dugaan korupsi dalam proyek Whoosh sejak awal tahun.

Proyek ini melayani rute Jakarta-Bandung sepanjang 142,3 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 30-45 menit.

Baca Juga: Ketika Mahfud MD Membongkar Dugaan Markup Anggaran Proyek Whoosh Era Jokowi

Kereta cepat ini resmi beroperasi sejak Oktober 2023, setelah diresmikan Presiden Ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi).

Proyek hasil kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Tiongkok itu semula ditargetkan menelan biaya 5,13 miliar dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp82,08 triliun.

Namun, nilainya membengkak hingga mencapai 7,27 miliar dolar AS, setara Rp115 triliun dengan asumsi kurs Rp16 ribu per dolar AS.