Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung atau Whoosh, yang menjadi salah satu proyek strategis nasional kebanggaan era Presiden Joko Widodo, kembali menjadi sorotan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini telah memulai penyelidikan atas dugaan praktik mark-up atau penggelembungan biaya dalam proyek yang menelan dana hingga Rp116 triliun tersebut.

Lalu, bagaimana asal-muasal kasus ini hingga menjadi riuh di publik, dan langkah apa yang telah diambil KPK menanggapi dugaan tersebut? Dikutip dari berbagai sumber pada Selasa (28/10/2025), berikut Olenka ulas selengkapnya.

Awal Mula Kasus

Isu dugaan mark-up ini mencuat setelah mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, mengungkapkan kejanggalan biaya pembangunan Whoosh dalam kanal YouTube pribadinya, Mahfud MD Official, pada Selasa (14/10/2025) lalu.

Di akunnya tersebut, Mahfud membandingkan biaya pembangunan kereta cepat di Indonesia dan Tiongkok.

“Menurut perhitungan pihak Indonesia, biaya per satu kilometer kereta Whoosh itu USD 52 juta. Akan tetapi, di Tiongkok sendiri hitungannya USD 17–18 juta. Naik tiga kali lipat,” ungkap Mahfud.

Mahfud mengaku keheranan mengapa proyek yang awalnya direncanakan bekerja sama dengan Jepang dalam skema government-to-government (G2G), justru dialihkan ke Tiongkok melalui skema business-to-business (B2B).

Menurut Mahfud, perubahan itu menjadi titik awal yang perlu diselidiki.

“Pemindahan kontrak dari Jepang ke Cina itu patut dipertanyakan. Meskipun bisa saja orang mengatakan itu biasa dalam bisnis, tapi menurut saya tetap mencurigakan,” tuturnya,

Ia menambahkan, keputusan tersebut bahkan diambil meski Menteri Perhubungan saat itu, Ignasius Jonan, menolak proyek itu karena dinilai tidak visible.

“Pak Jonan bilang ke Jokowi, ‘Pak, ini tidak visible.’ Tapi malah Pak Jonan yang dipecat,” tukas Mahfud.

Mahfud menegaskan, dirinya tidak menuduh langsung adanya korupsi, tetapi menegaskan perlunya penyelidikan mendalam.

“Kita setujulah kereta apinya bagus, tapi tidak boleh ada korupsi di situ,” tegasnya.

Langkah KPK

Menanggapi dugaan mark-up proyek kereta cepat Whoosh tersebut, KPK memastikan bahwa penyelidikan terkait dugaan mark-up proyek Whoosh telah berlangsung sejak awal tahun 2025.

Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, membenarkan hal itu.

“Saat ini sudah pada tahap penyelidikan,” ungkap Asep, dikutip dari Kompas TV, Senin (27/10/2025).

Hal senada disampaikan oleh Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, yang menegaskan bahwa penyelidikan masih terus berjalan dengan pengumpulan keterangan dari berbagai pihak.

“Benar, penyelidikan sudah dilakukan sejak awal tahun. Sejauh ini tidak ada kendala, dan prosesnya masih terus berprogres,” kata Budi.

Budi juga menyebut bahwa semua informasi publik, termasuk pernyataan Mahfud MD, dapat menjadi bahan tambahan bagi penyelidik.

“Setiap data yang disampaikan tentu bisa menjadi pengayaan bagi tim untuk menelusuri dan mengungkap perkara,” ujarnya.

Budi pun menuturkan,KPK meminta publik memberi ruang agar proses hukum berjalan matang.

“Kita berikan ruang dan waktu pada proses penegakan hukum supaya prosesnya firm dalam menemukan informasi dan keterangan yang dibutuhkan,” pungkas Budi.

Baca Juga: Whoosh Proyek Untung atau Rugi, Begini Hitung-hitungan Jokowi

Respons KCIC

Pihak PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC), selaku pelaksana proyek, menyatakan keterbukaannya terhadap langkah penyelidikan KPK.

General Manager Corporate Secretary KCIC, Eva Chairunisa, menegaskan komitmen perusahaan untuk mendukung penuh proses hukum.

“KCIC sangat terbuka jika ada pemeriksaan dari instansi-instansi yang berwenang,” kata Eva, dikutip dari Disway.id.

Eva menambahkan, seluruh pembiayaan proyek dilakukan sesuai mekanisme resmi.

“Pada masa konstruksi, semua pembiayaan melalui mekanisme yang telah ditetapkan. Kami siap bekerja sama dengan KPK untuk mendukung penyelidikan ini,” ujarnya.

Pandangan Pengamat

Kasus dugaan mark-up ini juga mengundang perhatian para pengamat hukum dan ekonomi.

Pakar hukum pidana dari Universitas Tarumanegara (Untar), Hery Firmansyah, menilai penyelidikan KPK sangat penting, terutama jika terbukti ada keuntungan pribadi atau kerugian negara.

“Jika ditemukan tindak pidana seperti kickback atau kerugian negara yang menguntungkan pihak tertentu, tentu bisa dijerat dengan pasal pidana,” papar Hery, dikutip dari Inilah.com.

Hery menambahkan, dasar hukum semakin kuat jika proyek ini terbukti dibiayai oleh APBN.

“Kalau ada dana APBN di situ, penegak hukum punya dasar kuat untuk melakukan penindakan,” jelasnya.

Namun, ia juga mengingatkan agar KPK berhati-hati dan memastikan adanya bukti kuat sebelum menaikkan kasus ke tahap penyidikan.

Sementara itu, Managing Editor PEPS (Political Economy and Policy Studies), Anthony Budiawan, lebih keras menyoroti langkah KPK yang dinilainya terlalu pasif.

“Sejak awal proyek KCJB banyak masalah dan sarat dugaan korupsi. Sangat aneh kalau KPK masih mempertanyakannya,” paparnya, dikutip dari Monitorindonesia.com.

Anthony bahkan menyebut KPK tidak kompeten jika terus menunggu laporan masyarakat untuk bertindak.

“Kalau KPK menunggu masyarakat melapor atas dugaan korupsi yang sudah jelas di depan mata, itu mencerminkan komisioner KPK saat ini memang tidak kompeten,” tegasnya.

Menurut Anthony, dugaan mark-up proyek ini mencapai 20–60 persen, terutama setelah Indonesia beralih dari penawaran Jepang ke China dengan nilai proyek yang terus meningkat.

“Penawaran awal China US$5,5 miliar, lalu naik jadi US$6,02 miliar, mendekati Jepang yang US$6,2 miliar. Tapi proyeknya tetap diambil China. Janjinya tak ganggu APBN, nyatanya sekarang APBN ikut menanggung,” ujarnya.

Anthony menilai perubahan regulasi, seperti Perpres 93/2021 dan PMK 89/2023, menjadi bukti bahwa proyek ini akhirnya tetap disokong dana negara.

“Kini terbukti, proyek yang awalnya diklaim tanpa APBN justru terus disuntik APBN,” tuturnya.

Baca Juga: Membandingkan Biaya Proyek Whoosh dengan Kereta Cepat Arab Saudi yang 10 Kali Lipat Lebih Panjang

Penjelasan Jokowi

Sementara itu, Presiden ke-7 RI, Joko Widodo alias Jokowi, menegaskan bahwa pembangunan transportasi publik seperti Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) bukan semata-mata proyek ekonomi, melainkan bentuk investasi sosial jangka panjang.

Pernyataan ini disampaikan Jokowi saat menjawab tudingan publik yang menyebut dirinya harus bertanggung jawab atas utang proyek kereta cepat, di sela kegiatan di kawasan Mangkubumen, Solo, Jawa Tengah, Senin (27/10/2025).

Menurut Jokowi, Whoosh dibangun sebagai solusi nyata atas kemacetan parah yang telah melanda Jakarta, Jabodetabek, hingga Bandung selama puluhan tahun.

Ia mengungkapkan, kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jakarta mencapai sekitar Rp65 triliun per tahun, dan bisa melampaui Rp100 triliun jika kawasan penyangga turut dihitung.

“Untuk mengatasi itu, kita bangun MRT, LRT, Kereta Cepat, dan KRL agar masyarakat berpindah dari kendaraan pribadi ke transportasi umum,” tutur Jokowi, sebagaimana dikutip dari Bisnis.com, Selasa (28/10/2025).

Jokowi menegaskan, transportasi publik harus dipahami sebagai layanan publik yang orientasinya bukan keuntungan finansial, melainkan social return on investment (S-ROI).

Manfaat sosialnya, kata dia, meliputi penurunan emisi karbon, peningkatan produktivitas masyarakat, pengurangan polusi, serta efisiensi waktu tempuh.

“Jadi kalau ada subsidi, itu adalah investasi, bukan kerugian,” tegasnya.

Sementara itu, di tengah polemik utang proyek kereta cepat, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa Presiden RI, Prabowo Subianto, akan segera menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) untuk membentuk tim restrukturisasi utang proyek tersebut.

“Sepanjang kita kompak, apa sih yang tidak bisa diselesaikan?,” beber Luhut, saat agenda Satu Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran di Jakarta, Kamis (16/10/2025).

Baca Juga: Ketika Mahfud MD Membongkar Dugaan Markup Anggaran Proyek Whoosh Era Jokowi