Selain lingkungan, isu kesehatan juga sering dijadikan senjata. Salah satu tudingan lama adalah bahwa minyak sawit mengandung kolesterol. Tungkot mengingatkan, kampanye negatif ini bermula dari American Soybean Association pada tahun 1978.

“Tudingan bahwa sawit mengandung kolesterol itu sudah dilakukan sejak tahun 1978. Padahal, ahli-ahli Amerika sendiri sudah membuktikan bahwa sawit tidak mengandung kolesterol karena dia tanaman. Kolesterol itu hanya ada pada hewan dan manusia. Tapi persepsi itu sempat terbentuk, bahkan sampai sekarang masih sering digaungkan,” jelas Tungkot.

Ia menambahkan, bahkan sebagian ahli kesehatan di Indonesia masih sering mengaitkan konsumsi minyak sawit dengan kolesterol tinggi, padahal tuduhan tersebut tidak berdasar secara ilmiah.

Isu lain yang juga kerap digunakan adalah bahwa industri sawit hanya dimiliki perusahaan besar, sementara masyarakat tidak mendapat manfaat. Padahal, data menunjukkan hampir setengah produksi sawit nasional justru berasal dari kebun rakyat.

“Sekarang, 42% dari sawit nasional itu adalah sawit rakyat. Smallholders yang pemilikannya paling tinggi 20 hektare ke bawah, bahkan rata-rata hanya 5 hektare. Jadi kalau dikatakan sawit hanya milik perusahaan besar, itu tidak benar,” jelas Tungkot.

Lebih jauh, berbagai penelitian baik dari PASPI maupun akademisi internasional, kata Tungkot, menunjukkan bahwa sawit berkontribusi besar terhadap kesejahteraan masyarakat.

“Sawit itu bukan hanya ramah sosial dalam arti memberikan pendapatan dan mengeluarkan orang dari kemiskinan. Ia juga meningkatkan akses masyarakat terhadap sanitasi, kesehatan, dan pendidikan. Jadi berbeda dengan apa yang sering dikatakan selama ini,” pungkas Tungkot.

Baca Juga: Alasan Industri Sawit Diserang Isu Negatif