Minyak sawit kerap menjadi sasaran kampanye negatif di tingkat global. Isu yang diangkat pun berulang, mulai dari lingkungan, kesehatan, hingga sosial.
Padahal, menurut Founder dan Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung, banyak narasi yang berkembang justru tidak sesuai fakta ilmiah.
“Yang pertama, soal lingkungan. Yang kedua, soal gizi dan kesehatan. Yang ketiga adalah soal sosial. Tiga ini adalah isu yang sering dipakai. Dan memang ini adalah non-ekonomi isu,” jelas Tungkot, saat ditemui Olenka, di Jakarta, belum lama ini.
Salah satu tuduhan paling populer adalah bahwa sawit merusak lingkungan. Namun, fakta menunjukkan sebaliknya. Tungkot menegaskan, tanaman sawit justru berperan dalam menyerap karbon dioksida (CO₂) dari atmosfer.
“Fakta menunjukkan, empirical evidence mengatakan, dan bahkan teori mengatakan, bahwa sawit itu justru menyerap karbon dioksida dari udara. Yang menyebabkan pemanasan global adalah konsentrasi karbon dioksida yang terlalu tinggi di atmosfer. Nah, sawit bukan menyumbang ke sana, tapi menyerap CO₂ dan menyimpannya dalam tanah serta batangnya. Jadi sebenarnya sawit justru menyelamatkan,” tegasnya.
Baca Juga: Kata Pakar soal Manfaat Minyak Sawit untuk Kesehatan: Sumber Energi hingga Pelindung Imunitas
Selain lingkungan, isu kesehatan juga sering dijadikan senjata. Salah satu tudingan lama adalah bahwa minyak sawit mengandung kolesterol. Tungkot mengingatkan, kampanye negatif ini bermula dari American Soybean Association pada tahun 1978.
“Tudingan bahwa sawit mengandung kolesterol itu sudah dilakukan sejak tahun 1978. Padahal, ahli-ahli Amerika sendiri sudah membuktikan bahwa sawit tidak mengandung kolesterol karena dia tanaman. Kolesterol itu hanya ada pada hewan dan manusia. Tapi persepsi itu sempat terbentuk, bahkan sampai sekarang masih sering digaungkan,” jelas Tungkot.
Ia menambahkan, bahkan sebagian ahli kesehatan di Indonesia masih sering mengaitkan konsumsi minyak sawit dengan kolesterol tinggi, padahal tuduhan tersebut tidak berdasar secara ilmiah.
Isu lain yang juga kerap digunakan adalah bahwa industri sawit hanya dimiliki perusahaan besar, sementara masyarakat tidak mendapat manfaat. Padahal, data menunjukkan hampir setengah produksi sawit nasional justru berasal dari kebun rakyat.
“Sekarang, 42% dari sawit nasional itu adalah sawit rakyat. Smallholders yang pemilikannya paling tinggi 20 hektare ke bawah, bahkan rata-rata hanya 5 hektare. Jadi kalau dikatakan sawit hanya milik perusahaan besar, itu tidak benar,” jelas Tungkot.
Lebih jauh, berbagai penelitian baik dari PASPI maupun akademisi internasional, kata Tungkot, menunjukkan bahwa sawit berkontribusi besar terhadap kesejahteraan masyarakat.
“Sawit itu bukan hanya ramah sosial dalam arti memberikan pendapatan dan mengeluarkan orang dari kemiskinan. Ia juga meningkatkan akses masyarakat terhadap sanitasi, kesehatan, dan pendidikan. Jadi berbeda dengan apa yang sering dikatakan selama ini,” pungkas Tungkot.
Baca Juga: Alasan Industri Sawit Diserang Isu Negatif