Ia menambahkan bahwa sebagian besar uji klinis internasional menunjukkan hasil signifikan dibandingkan pasien yang tidak mendapat terapi ataupun yang hanya mengandalkan pengobatan konvensional.
Menurut dr. Danny, meski sebagian besar penelitian masih berada pada fase klinis tahap dua dan tiga, data yang ada sudah cukup untuk menumbuhkan optimisme.
Berbagai penelitian telah mendokumentasikan manfaat stem cell. Pada pasien stroke misalnya, terapi ini terbukti meningkatkan fungsi motorik sehingga banyak yang kembali mandiri. Pada anak dengan cerebral palsy, kualitas hidup dan kemampuan bergerak juga dilaporkan membaik.
Demikian pula pada ALS, penelitian menunjukkan perpanjangan usia harapan hidup hingga dua kali lipat, sementara pada kasus cedera tulang belakang, pasien mengalami perbaikan fungsi sensorik, motorik, bahkan fungsi kandung kemih.
Dipaparkan dr. Danny, di Indonesia sendiri, penggunaan stem cell diatur ketat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta Kementerian Kesehatan RI. Saat ini, layanan yang telah mendapat izin umumnya baru di bidang ortopedi dan traumatologi, misalnya untuk penanganan osteoarthritis dan cedera tendon.
“Sementara untuk neurologi, layanan masih berada pada tahap riset berbasis layanan, sehingga hanya bisa dilakukan dengan persetujuan pasien dalam kerangka penelitian resmi,” ungkapnya.
Meski menjanjikan, lanjut dr. Danny, stem cell therapy masih menghadapi sejumlah tantangan, mulai dari kebutuhan uji klinis berskala besar dan jangka panjang, biaya tinggi yang membatasi akses, hingga statusnya yang belum menjadi terapi standar.
“Harapan kita, suatu hari stem cell bisa menjadi bagian dari layanan standar di Indonesia. Kalau pasien stroke atau penyakit saraf lainnya bisa kembali mandiri dan tidak bergantung pada orang lain, tentu itu akan sangat meningkatkan kualitas hidup,” tandas dr. Danny.