Penyakit neurologis seperti stroke, Parkinson, Alzheimer, cerebral palsy, hingga spinal cord injury terus meningkat di seluruh dunia dan menjadi tantangan besar bagi dunia kesehatan.

Selama ini, terapi yang tersedia umumnya hanya bersifat simptomatik, sekadar meredakan gejala tanpa benar-benar menghentikan perjalanan penyakit.

Di tengah keterbatasan tersebut, hadir sebuah harapan baru melalui terapi stem cell, pendekatan regeneratif yang diyakini dapat memperbaiki jaringan saraf, mengurangi inflamasi, serta meningkatkan fungsi dan kualitas hidup pasien.

“Stem cell bukan lagi sekadar mitos, tapi peluang nyata dalam terapi regeneratif neurologi. Data awal menunjukkan hasil yang menjanjikan, terutama untuk stroke, cerebral palsy, ALS, dan spinal cord injury. Keselamatan dan etika tetap prioritas, sehingga penelitian berkelanjutan di Indonesia sangat penting,” jelas dr. Danny Halim, SpBS, PhD, Dokter Bedah Saraf di RS Siloam Lippo Village, saat ditemui Olenka usai Press Conference Siloam Neuroscience Summit 2025, di Ballroom Shangri-La Hotel, Jakarta, belum lama ini.

Secara sederhana, kata dr. Danny, stem cell atau sel punca adalah sel yang memiliki kemampuan memperbarui diri sekaligus berubah menjadi berbagai jenis sel lain.

Jenis yang paling banyak diteliti dalam konteks neurologi adalah Mesenchymal Stem Cells (MSCs), yang banyak diperoleh dari tali pusat.

Adapun, mekanisme kerjanya meliputi dua hal utama. Pertama, stem cell dapat berdiferensiasi menjadi sel baru untuk menggantikan sel-sel saraf yang rusak atau mati.

Dan kedua, stem cell juga menghasilkan molekul bioaktif seperti hormon dan growth factor yang mampu menstimulasi sel di sekitarnya agar tetap bertahan hidup, memperbaiki diri, dan terhindar dari kerusakan lebih lanjut.

“Kalau kita kena stroke, banyak sel saraf yang mati. Stem cell ini punya kemampuan untuk menggantikannya dengan sel baru. Selain itu, ia juga menghasilkan faktor-faktor yang merangsang lingkungan sekitarnya agar lebih cepat pulih,” terang dr. Danny.

Baca Juga: Siloam Hadirkan Robot Bedah Otak Pertama di Indonesia, Prof. Julius July: Keselamatan Pasien adalah Prioritas Utama

Ia menambahkan bahwa sebagian besar uji klinis internasional menunjukkan hasil signifikan dibandingkan pasien yang tidak mendapat terapi ataupun yang hanya mengandalkan pengobatan konvensional.

Menurut dr. Danny, meski sebagian besar penelitian masih berada pada fase klinis tahap dua dan tiga, data yang ada sudah cukup untuk menumbuhkan optimisme.

Berbagai penelitian telah mendokumentasikan manfaat stem cell. Pada pasien stroke misalnya, terapi ini terbukti meningkatkan fungsi motorik sehingga banyak yang kembali mandiri. Pada anak dengan cerebral palsy, kualitas hidup dan kemampuan bergerak juga dilaporkan membaik.

Demikian pula pada ALS, penelitian menunjukkan perpanjangan usia harapan hidup hingga dua kali lipat, sementara pada kasus cedera tulang belakang, pasien mengalami perbaikan fungsi sensorik, motorik, bahkan fungsi kandung kemih.

Dipaparkan dr. Danny, di Indonesia sendiri, penggunaan stem cell diatur ketat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta Kementerian Kesehatan RI. Saat ini, layanan yang telah mendapat izin umumnya baru di bidang ortopedi dan traumatologi, misalnya untuk penanganan osteoarthritis dan cedera tendon.

“Sementara untuk neurologi, layanan masih berada pada tahap riset berbasis layanan, sehingga hanya bisa dilakukan dengan persetujuan pasien dalam kerangka penelitian resmi,” ungkapnya.

Meski menjanjikan, lanjut dr. Danny, stem cell therapy masih menghadapi sejumlah tantangan, mulai dari kebutuhan uji klinis berskala besar dan jangka panjang, biaya tinggi yang membatasi akses, hingga statusnya yang belum menjadi terapi standar.

“Harapan kita, suatu hari stem cell bisa menjadi bagian dari layanan standar di Indonesia. Kalau pasien stroke atau penyakit saraf lainnya bisa kembali mandiri dan tidak bergantung pada orang lain, tentu itu akan sangat meningkatkan kualitas hidup,” tandas dr. Danny.

Baca Juga: Siloam Neuroscience Summit 2025 Catat Sejarah, Robot Bedah Otak Pertama Hadir di Indonesia, Seperti Apa?