Saat bencana terjadi, akses menuju lokasi terdampak kerap terputus. Informasi lapangan sulit diperoleh secara cepat, sementara pengiriman petugas pada fase awal justru berisiko menambah jumlah korban. Tantangan inilah yang mendorong tiga pelajar Indonesia untuk menghadirkan solusi berbasis teknologi guna mendukung penanganan awal bencana.

Tergabung dalam Tim Bayu Sakti, Owen Tay Jia Hao, Ksatria Wibawa Putra Murti, dan Arga Wibawa mengembangkan Drone Rajawali, sebuah wahana udara tanpa awak yang dirancang khusus untuk kebutuhan mitigasi dan respons awal bencana. Inovasi ini diperkenalkan kepada publik di Sekolah ACS Jakarta pada Senin (15/12/2025).

Baca Juga: Kenalan dengan Kawai Labiba, Bintang Film Muda Penuh Talenta!

Pengembangan Drone Rajawali memanfaatkan teknologi LiDAR MID-360 dan kamera 3D, yang seluruh sistem perangkat lunak dan pemrogramannya dirancang langsung oleh ketiga anggota tim. Dengan teknologi tersebut, drone mampu menghasilkan pemetaan dan data visual tiga dimensi secara akurat di area terdampak bencana.

Dari total anggaran pengembangan sebesar Rp200 juta, sebagian besar dialokasikan untuk pengadaan rangka (chassis) dan unit drone. Pada struktur tersebut kemudian diintegrasikan berbagai fungsi, termasuk penerapan teknologi kecerdasan buatan (AI).

Baca Juga: Fakta-fakta Penetapan Bos Terra Drone Menjadi Tersangka Kebakaran Maut

“Kami mengembangkan sendiri sistem AI dan programnya agar drone bisa bekerja menyelesaikan tugas secara otomatis. Desainnya juga dibuat multifungsi,” ujar Arga.

Drone Rajawali dirancang untuk menghadapi berbagai skenario bencana, mulai dari gempa bumi hingga insiden berkaitan dengan paparan nuklir. Keunggulan utamanya terletak pada kemampuan deteksi risiko dan pemetaan area operasional secara real time. Data yang dihasilkan dapat membantu tim penyelamat dalam menyusun langkah penanganan yang lebih sistematis dan terukur.

Baca Juga: Mengenal Michael Wishnu Wardhana, Direktur Utama Terra Drone Indonesia dan Penggerak Inovasi Teknologi Drone Tanah Air

Dari sisi operasional, drone ini dirancang agar mudah digunakan dengan memanfaatkan sistem komunikasi radio frekuensi 2,4 GHz sebagai pengganti WiFi. Sistem berbasis radio dinilai lebih stabil dan andal selama perangkat pemancar dan penerima berfungsi normal.

“Pekerjaan yang biasanya membutuhkan sekitar 40 orang bisa diselesaikan oleh dua hingga enam orang dengan bantuan drone ini,” lanjut Arga.

Meski demikian, Drone Rajawali masih berada pada tahap prototipe. Sejumlah kendala teknis belum sepenuhnya terhindarkan, termasuk kerusakan pada kerangka yang terjadi selama rangkaian uji ekstrem di dua kompetisi internasional. Uji tersebut mencakup kondisi angin kencang, paparan panas, gerimis, hingga gangguan magnetik.

Baca Juga: Mengenal Terra Drone Indonesia, Perusahaan Penyedia Drone yang Dilanda Kebakaran Mengerikan

Ksatria menjelaskan bahwa berbagai langkah mitigasi terus dilakukan untuk menekan risiko seminimal mungkin. Melalui sistem pendeteksian berbasis AI yang mengolah citra visual dengan parameter signifikansi tertentu, drone mampu mengidentifikasi retakan bangunan, tingkat kerusakan struktur, hingga keberadaan material berbahaya.

Kemampuan deteksi ini berfungsi sebagai sistem peringatan dini bagi tim penyelamat, khususnya untuk mengantisipasi risiko runtuhan bangunan dan potensi bahaya lain di lokasi bencana.

Baca Juga: Mengenal Satya Nadella: CEO Microsoft yang Mengubah Wajah Teknologi Dunia

Inovasi yang dihadirkan oleh ketiga pelajar Indonesia ini menunjukkan bahwa pemanfaatan teknologi canggih dapat berperan penting dalam mendukung penanganan awal bencana secara lebih aman, cepat, dan terukur. Integrasi sistem deteksi, pemetaan, dan kecerdasan buatan pada Drone Rajawali tidak hanya memberikan informasi krusial bagi tim penyelamat, tetapi juga menjadi fondasi pengembangan solusi mitigasi bencana yang lebih matang di masa depan.