Menurut Robby, dalam kompetisi latte art, penilaian juri tidak hanya menitikberatkan pada tampilan estetika, tetapi juga aspek teknis dan orisinalitas. Robby menjelaskan bahwa terdapat beberapa kriteria utama dalam penilaian.

Soal pendidikan dan pelatihan, Robby menekankan bahwa saat ini sudah banyak tersedia kursus atau pelatihan latte art baik secara offline maupun online. Namun, ia juga menyoroti bahwa banyak barista yang belajar secara otodidak di lapangan.

"Sekolah atau kursus sekarang banyak. Tapi, banyak juga barista juga sering belajar dari kebiasaan. Dari orderan sehari-hari, terutama minuman panas seperti latte dan cappuccino, mereka bisa belajar teknik latte art secara langsung,” ungkapnya.

Dijelaskan Robby, tantangan terbesar dalam mengikuti kompetisi latte art sendiri justru terletak pada kemampuan memahami dan menyesuaikan diri dengan aturan yang selalu diperbarui setiap tahun.

“Kita harus pintar-pintar baca rules dan regulations terbaru. Strateginya juga harus sesuai. Itu tantangan yang besar karena setiap tahun bisa berubah,” tuturnya.

Lebih jauh, Robby juga melihat adanya perbedaan mencolok antara gaya latte art barista lokal dengan barista dari negara lain, terutama dalam hal teknik dan desain.

“Perbedaan pasti ada. Dari segi teknik, desain, bahkan bahan seperti susu dan kopi juga bisa beda. Tapi yang paling terasa adalah di cara mereka mengolah desain dan detail teknikal-nya,” tambahnya.

Robby juga mengatakan, barista yang mengikuti kompetisi latte art dinilainya bukan hanya soal prestise semata, tapi juga pengembangan diri. Kompetisi ini, kata dia, memberi ruang bagi barista untuk meningkatkan keterampilan secara signifikan.

“Dampaknya besar buat pengembangan diri. Kita jadi tahu teknik-teknik baru yang sebelumnya nggak pernah dipelajari. Jadi bukan hanya soal menang, tapi soal tumbuh sebagai barista profesional,” tutup Robby.

Baca Juga: Rayakan Ulang Tahun ke-6, Kopi Nu Sae Gelar Liga Latte Art 2025 dan Perkuat Rantai Pasok Kopi