Harga kopi diperkirakan akan terus meningkat hingga pertengahan 2025, sejalan dengan kelangkaan pasokan dari negara produsen utama. Isu ini menjadi fokus perhatian utama di kalangan petani kopi.
Kenaikan harga kopi disebabkan oleh ketidakstabilan pasokan global, yang terutama disebabkan oleh kemungkinan gagal panen di negara-negara produsen utama seperti Brasil dan Vietnam. Sejak 2023, penurunan stok kopi telah memicu lonjakan harga yang signifikan.
Mengutip dari laman Bloomberg pada Selasa (10/9/2024), Giuseppe Lavazza, Ketua Luigi Lavazza SpA mengatakan, "Perkiraan akan kembali terjadinya kekurangan produksi di Vietnam, yang merupakan produsen utama kopi robusta di dunia, memicu lonjakan harga berbagai jenis biji kopi yang digunakan dalam campuran kopi dan espresso."
Menurut para pedagang di DR Wakefield, importir kopi yang berbasis di London tersebut, kondisi cuaca yang tidak mendukung menjadi kekhawatiran utama. Seperti yang dilaporkan Bloomberg, ada kekhawatiran tentang potensi kekurangan air untuk irigasi, yang bisa mempengaruhi hasil panen pada musim mendatang.
Baca Juga: Kisah Brand Kopi Kenangan Berhasil Survive Hadapi Krisis Pandemi: Ada Rencana yang Tertunda
Selain itu, riset dari Tuan Loc Commodities, lembaga yang berlokasi di Ho Chi Minh, Vietnam, menunjukkan bahwa daerah penghasil kopi saat ini mengalami cuaca panas dan kondisi kering. Situasi ini berpotensi berdampak signifikan pada kuantitas dan kualitas produksi kopi.
Kopi Robusta dan Arabika Paling Terdampak
Menurut International Coffee Organization (ICO), harga kopi robusta saat ini berkisar antara US$3.700 hingga US$3.800 per ton. Laporan ICO pada April 2024 menyebutkan bahwa kenaikan harga robusta tahun ini adalah yang tertinggi dalam 45 tahun, sejak Juli 1979. Pada penutupan perdagangan 25 April 2024, harga kontrak berjangka kopi robusta di London mencapai US$4.304 per ton (sekitar Rp70 juta).
Kenaikan harga robusta dipicu oleh ancaman musim kemarau yang memengaruhi produksi di Vietnam, salah satu negara eksportir utama. Penurunan produksi di Vietnam menyebabkan lonjakan harga kontrak berjangka robusta di bursa komoditas London, naik lebih dari 50% tahun lalu, mencapai level tertinggi sejak 2008.
Selain itu, permintaan global yang terus meningkat untuk kopi robusta juga berkontribusi pada kenaikan harga, terutama karena robusta sering digunakan dalam campuran minuman seperti latte dan es kopi susu.
Baca Juga: Andanu Prasetyo Ungkap Cara Membuat Brand Sekeren Kopi Tuku
Kemudian, kenaikan harga robusta juga mempengaruhi harga kopi arabika premium. Harga arabika berjangka di New York naik 3% dan melampaui US$2 per ton untuk pertama kalinya sejak Desember 2023.
Permintaan tinggi akan biji Arabika berkualitas rendah dari Brasil, yang dapat menggantikan biji robusta dalam campurannya, turut mendorong kenaikan harga. Cuaca kering di Brasil, khususnya di wilayah Minas Gerais yang merupakan daerah utama produksi Arabika, juga mempengaruhi harga kopi berjangka.
Faktor-Faktor Penyebab Kenaikan Harga Kopi
Kenaikan harga berbagai jenis kopi ini dipicu oleh beberapa faktor utama, di antaranya perubahan iklim, biaya logistik yang meningkat, fluktuasi mata uang, serta permintaan global yang terus naik. Perubahan cuaca, terutama hujan yang tidak teratur dan suhu ekstrem, mengganggu produksi kopi di berbagai daerah penghasil utama.
Baca Juga: Kisah Sukses Kopi Kenangan, Raja Kopi Asia yang Menembus Belantara Pasar Internasional
Selain itu, masalah dalam rantai pasok global akibat pandemi dan kenaikan harga bahan bakar turut memengaruhi biaya distribusi kopi, baik di dalam maupun luar negeri. Kondisi ini diperparah oleh nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar, sehingga harga kopi impor juga meningkat.
Beri Keuntungan untuk Indonesia?
Kenaikan harga kopi memberikan keuntungan bagi beberapa produsen kopi terbesar di dunia, termasuk Indonesia. Data Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) menunjukkan Indonesia sebagai salah satu dari 10 negara penghasil kopi terkemuka pada 2023.
Menurut Badan Pusat Statistik, pada 2022 ekspor kopi Indonesia didominasi oleh kopi robusta, yang menyumbang 86,13% dari total ekspor. Total ekspor kopi mencapai 433.780 ton dengan nilai US$1,14 miliar (sekitar R18,46 triliun). Dengan kenaikan harga saat ini, Indonesia berpotensi mendapatkan manfaat lebih besar.
Harga kopi di Indonesia juga mengalami kenaikan. Di Kabupaten Tapanuli Selatan, harga kopi di tingkat produsen pada Februari 2024 mencapai R131.100 per kilogram, naik dari Rp129.600 pada Januari.
Di Lombok Timur, harga kopi arabika green bean meningkat dari Rp140.000 per kilogram pada Januari menjadi Rp145.500 pada Februari. Di Kabupaten Ngada, harga kopi naik dari Rp65.000 per kilogram pada Januari menjadi Rp70.000 pada Februari.
Indonesia adalah salah satu penghasil kopi terbesar di dunia, berada di peringkat ketiga setelah Brasil dan Vietnam. Pada 2023, Indonesia mengekspor kopi terbanyak ke Amerika Serikat, diikuti Mesir dan India. Meskipun ekspor ke Amerika mengalami penurunan, ekspor ke negara-negara Eropa seperti Belanda dan Denmark mengalami peningkatan.
Kendati demikian, kenaikan harga kopi jelas berdampak pada konsumen dan produsen. Konsumen harus merogoh kocek lebih dalam untuk menikmati secangkir kopi, baik di rumah maupun di kafe. Sementara itu, produsen kopi, terutama petani, dihadapkan pada tantangan peningkatan biaya produksi dan distribusi.