Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mulai mengguyur enam bank dengan segar senilai Rp200 Triliun yang tarik dari Bank Indonesia, itu adalah dana milik pemerintah yang selama ini mengendap di sana. Dana 'nganggur' itu di antaranya berasal dari sisa anggaran lebih (SAL) dan Sisa Lebih Pembayaran Anggaran (SiLPA).
Gebrakan Purbaya telah dilaporkan ke Presiden Prabowo Subianto dan akan dimulai hari ini, Jumat (12/9/2025). Baginya langkah ini bisa membuat perekonomian Indonesia bisa berputar lebih luwes.
Baca Juga: Hari ini, Menkeu Purbaya Alirkan Dana Rp200 Triliun ke Perbankan RI
Nantinya uang yang disebar ke perbankan itu akan disimpan seperti deposito di bank umum. Pihak bank diberi keleluasaan menggunakan uang itu, tetapi tidak boleh untuk membeli surat utang negara (SUN).
Gebrakan Purbaya mendapat sorotan dari berbagai pihak, salah satunya dari Kepala Ekonom BCA David Sumual. Dia mengatakan langkah Purbaya sebenarnya baik untuk mengerek perekonomian, namun di sisi lain ia juga justru menjadi bumerang bagi pemerintah, pasalnya tantangan ekonomi saat ini datang dari berbagai sektor seperti lemahnya permintaan kredit dan investasi.
"Kalau nambah likuiditas itu kan harapannya nanti kredit meningkat. Tapi kredit itu kan masalahnya di permintaannya juga, bukan di pasokan atau supply-nya. Jadi kalau digelontorkan likuiditas ya belum tentu larinya ke lending," kata David kepada kepada wartawan.
David mengatakan,penyuntikan dana dari pemerintah berpotensi kembali di parkir ke instrumen aman seperti Surat Berharga Negara (SBN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) karena berbagai alasan, sehingga dana yang tadinya diharapkan dapat mengerek perekonomian justru tak memberi dampak apa-apa.
"Karena takutnya nanti memang akan menaruhnya lagi ke instrumen BI atau SBN atau SRBI," ucapnya.
Sementara itu Pengamat ekonomi Suherman Juhari mengatakan, gebrakan yang dilakukan Menteri Purbaya menjadi stimulus pemerintah lewat jalur perbankan agar uang beredar lebih cepat sampai ke sektor riil, namun ia mewanti-wanti apabila dana itu justru kembali diparkir pihak bank.
“Dalam situasi daya beli masyarakat yang lemah, kredit produktif harus didorong supaya roda ekonomi bisa berputar. Kalau hanya diparkir di bank tanpa memperbesar penyaluran kredit ke sektor usaha produktif dan rumah tangga, efeknya ke perekonomian tentu terbatas,” ujarnya.
Suherman menjabarkan, kebijakan ini punya dua sisi. Dari sisi positif, dana segar itu dapat mempercepat pemulihan ekonomi karena UMKM dan dunia usaha mendapat akses modal kerja lebih terjangkau. Selain itu, stabilitas perbankan juga bisa terjaga sehingga kepercayaan publik tetap kuat. Namun, risikonya juga tidak kecil.
“Tekanan fiskal bisa bertambah jika dana ini hanya jadi beban APBN tanpa multiplier effect yang signifikan. Risiko lain, jika kredit yang disalurkan tidak produktif, bisa menambah angka kredit macet (NPL) di masa depan,” kata Suherman.
Agar dana benar-benar tersalurkan ke sektor riil, ia menekankan perlunya pengawasan ketat dari pemerintah, OJK, dan Bank Indonesia. Menurutnya, ada beberapa poin penting yang harus dijalankan, yakni penetapan target penyaluran kredit yang jelas, transparansi laporan penggunaan dana, serta larangan penggunaan dana hanya untuk membeli surat berharga.
Baca Juga: Melihat Kembali Pernyataan Keponakan Prabowo, Rahayu Saraswati yang Membuatnya Hengkang dari DPR
“Dana itu harus benar-benar turun ke sektor yang menciptakan lapangan kerja seperti pertanian, industri pengolahan, hingga UMKM,” pungkasnya.