Barista profesional yang menyandang gelar runner-up Indonesia Latte Art Championship 2025 dan 1st Indonesia Latte Art Championship 2025 Jakarta League, Joost Rolland, melihat bahwa geliat kompetisi latte art di Indonesia, khususnya dalam format liga masih tergolong minim.
Menurutnya, meski antusiasme para barista terbilang tinggi, namun kurangnya frekuensi event menjadi tantangan tersendiri bagi perkembangan dunia latte art di Tanah Air.
“Kalau untuk sistem liga seperti ini sebenarnya masih jarang. Terakhir saya lihat model kompetisi seperti ini itu di Makassar,” terang Joost yang juga merupakan bagian dari Kakagear Indonesia, saat ditemui Olenka di acara Liga Latte Art 2025 yang digelar di gerai Kopi Nu Sae Air Mancur, Bogor, Sabtu (26/7/2025).
Joost sendiri berpandangan, frekuensi kompetisi dan event throwdown latte art dalam beberapa waktu terakhir di Indonesia terbilang lesu. Hal ini pun kata dia turut memengaruhi laju perkembangan seni latte art di Indonesia.
Ia pun menyayangkan berkurangnya ruang-ruang kompetitif yang dulu rutin digelar dan menjadi wadah eksplorasi sekaligus pemacu semangat bagi para barista.
“Mungkin karena event-event kayak gini belakangan ini masih kurang, jadi perkembangan latte art-nya agak stagnan,” ungkap Joost.
Padahal kata dia, tanpa ajang untuk saling unjuk kemampuan dan bertukar ilmu, atmosfer inovasi pun cenderung melemah.
“Kompetisi latte art sendiri bukan sekadar soal menang, tetapi bagian penting dari ekosistem kreatif yang mendorong barista untuk terus berkembang,” papar dia.
Baca Juga: Evolusi Latte Art dan Mimpi Besar Barista Indonesia
Dalam kompetisi, Joost menegaskan bahwa ada beberapa aspek penting yang diperhatikan juri dalam menilai kualitas latte art seorang barista.
“Yang pertama kualitas foam, lalu kontras antara susu dan kopi, harmoni atau keselarasan antara gambar dan ukuran cup, tingkat keberhasilan eksekusi, dan terakhir overall look, yakni dari sudut pandang seorang pelanggan, kira-kira mana yang paling menarik untuk diminum,” ungkapnya.
Soal edukasi latte art sendiri, Joost menyebut bahwa saat ini banyak kursus atau pelatihan latte art tersedia, termasuk di Kakagear Indonesia yang juga membuka pelatihan dengan durasi fleksibel.
“Kursus biasanya 1–2 hari, tergantung seberapa cepat peserta menyerap materi. Dan biasanya kita juga kasih sertifikasi, khusus dari Kakagear,” jelasnya.
Dan, di tengah maraknya kedai kopi yang bermunculan, Joost pun menaruh perhatian pada semangat barista muda yang seringkali harus berjuang sendiri dalam mengembangkan kemampuannya.
Tak hanya itu, ia pun berharap lebih banyak liga dan event diadakan agar generasi barista berikutnya memiliki lebih banyak peluang untuk berkembang dan bersinar.
“Harapan saya, mereka tetap semangat latihan dan mengasah kemampuan terbaiknya, meski mungkin ada kedai yang belum tentu support. Cari jalan sendiri untuk berkembang, jangan berhenti belajar,” pungkas Joost.
Baca Juga: Dari Kompetisi ke Inovasi, Peran Latte Art dalam Profesionalisasi Industri Kopi Indonesia