Mewujudkan Mimpi Melalui Jiwa Entrepreneur
Perjalanan perubahan Universitas Tarumanagara (Untar) bukan hanya kisah pengembangan fisik atau penambahan aset. Ini adalah kisah tentang bagaimana mimpi dan semangat entrepreneurship dapat menghidupkan kembali sebuah institusi pendidikan dan menjadikannya mercusuar harapan bagi ribuan mahasiswa.
Saat Ciputra dipercaya memimpin Yayasan Tarumanagara, kondisi kampus sangat memprihatinkan. Banyak pihak mengeluhkan minimnya dana untuk pembangunan. Tapi, alih-alih mencari sumbangan atau mengandalkan belas kasihan, Ciputra menawarkan pendekatan yang sangat berbeda, yakni membangun kemandirian.
Salah satu langkah krusial yang ia ambil adalah menerapkan sistem biaya kuliah berjenjang, disesuaikan dengan kondisi ekonomi mahasiswa. Mahasiswa dari keluarga mampu membayar lebih, sementara mereka yang tidak mampu mendapatkan subsidi. Hasilnya? Kas yayasan mulai membaik. Kampus mulai bisa bermimpi lagi.
"Dengan menerapkan biaya kuliah yang berbeda, kas yayasan kemudian beranjak sehat. Tanah di seberang kampus bisa dibeli. Banyak pengembangan bisa dilakukan: membangun kampus baru, menyediakan banyak fasilitas, modernisasi di berbagai elemen, mengirim para dosen untuk studi ke luar negeri, dan menaikkan gaji dosen,” beber Ciputra.
Perlahan tapi pasti, perubahan demi perubahan mulai terlihat. Di tahun 1990-an, citra Untar berubah total. Kampus yang dulunya pucat dan kumuh, kini berdiri megah dan bercahaya. Fasilitas terus bertambah, kualitas pengajaran meningkat, dan setiap fakultas menunjukkan kemajuan yang berarti.
“Saat itu, orang tidak lagi melihat Universitas Tarumanegara sebagai kampus pucat dan kumuh di Grogol. Gedungnya yang mentereng tampak bercahaya. Kemajuan di setiap fakultas juga sangat banyak,” kata Ciputra.
Aset yayasan pun bertumbuh pesat. Kini Untar memiliki dua kompleks kampus di Grogol dengan luas 3,2 dan 3,7 hektare, serta kampus di Jalan T.B. Simatupang, Jakarta Selatan seluas 2 hektare.
Dijelaskan Ciputra, ini bukan hanya soal pertumbuhan fisik kampus, tapi ini tentang membangun martabat sebuah institusi. Tentang mengubah wajah pendidikan menjadi lebih berwibawa, mandiri, dan berdampak.
Ciputra mengaku, dirinya memegang teguh prinsip bahwa lembaga pendidikan, meski bukan bisnis, tetap harus dikelola dengan semangat entrepreneurship, yang visioner, mandiri, berani mengambil langkah strategis, dan memiliki arah jangka panjang.
"Selama saya memimpin Yayasan Tarumanegara, yang selalu saya tekankan adalah jiwa entrepreneur. Tanpa harus mengacaukan semangat murni pendidikan yang tak boleh bercampur dengan bisnis, sesungguhnya sebuah yayasan bisa menjadi lembaga yang sejahtera bila konsep entrepreneurship dijalankan."
Lebih tegas lagi, ia menyampaikan kritik terhadap mentalitas pasif yang masih sering melekat pada yayasan pendidikan.
"Yayasan jangan jadi wadah pecundang dengan hanya menadahkan tangan meminta bantuan. Sungguh menyedihkan bila yayasan pendidikan berada dalam taraf seperti itu, menanti uluran tangan orang. Apa yang bisa diperbuat untuk memajukan pendidikan?,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Ciputra mengatakan bahwa segala pencapaian yang dirinya raih berakar dari satu hal, yakni mimpi. Namun kata dia, mimpi itu tidak dibiarkan melayang-layang, tapi ia bentuk menjadi kekuatan melalui rumusan pribadi yang ia sebut sebagai 5D.
"Sebuah mimpi, dan memang semua usaha besar saya dimulai dari mimpi yang merupakan proses sukses saya, yaitu 5D: Dream, Desire, Drive, Discipline, Determination. Semoga Tuhan menyertai dan memberkati,” pungkas Ciputra.
Baca Juga: Kisah Perjalanan Jiwa Ciputra: Ditempa Derita, Disentuh Tangan Tuhan