Membuktikan Diri Lewat Prestasi, Bukan Koneksi
Lebih lanjut, Tahir pun menceritakan kisahnya saat bisnis dealer mobilnya runtuh pada akhir 1980-an. Ia terpaksa meminta bantuan dari mertuanya, yakni Mochtar Riady, sang taipan pemilik Lippo Group. Meski diberi kepercayaan untuk mengelola usaha garmen ekspor oleh sang mertua, namun saat itu kehadiran Tahir kerap dipandang sebelah mata oleh staf asing karena dianggap hanya ‘menumpang’.
“jadi saat itu ada seorang staf ekspatriat yang bekerja di pabrik Pak Mochtar. Dia tidak pernah memperhatikan saya saat saya di sana. Mungkin dia mengira saya hanya menantu bos besar, dan saya bekerja di sana karena saya gagal dalam bisnis saya sendiri,” ujar Tahir.
Melihat hal tersebut, Tahir berprinsip bahwa ia tidak akan larut dalam penilaian orang lain. Ia memilih untuk membuktikan kemampuannya dengan memenangkan kuota ekspor garmen ke Amerika Serikat, sebuah pencapaian pribadi yang membuat orang-orang mulai menghormatinya bukan karena koneksi, tapi karena prestasi.
“Saya berusaha keras untuk mencapai prestasi saya sendiri. Salah satunya adalah dengan memenangkan kuota ekspor garmen ke AS. Baru pada saat itulah staf ekspatriat itu bersedia bertemu dengan saya. la menyadari bahwa saya memiliki kekuatan dalam diri saya,” terang Tahir.
Tahir lantas menuturkan, dirinya menyaksikan banyak orang kuat di sekelilingnya yang terlihat sukses, namun sesungguhnya berada dalam posisi lemah karena sepenuhnya tergantung pada sokongan orang lain. Sekali dukungan itu hilang, kata dia, runtuh pula pencapaian mereka.
“Di lingkungan sosial saya, saya sering melihat orang-orang kuat yang berada dalam situasi yang rapuh. Mereka meraih kesuksesan karena dukungan orang lain. Banyak dari mereka yang tampak sukses. Namun, mereka harus tunduk kepada orang yang memberi mereka kesempatan untuk sukses. Setiap kali orang yang mendukung mereka berhenti menyukai mereka, jalan menuju kesuksesan juga akan terhalang. Begitu rapuhnya mereka,” ungkap Tahir.
Pengamatan ini lahir dari pengalaman pribadi Tahir yang pernah menyaksikan secara langsung bagaimana nasib seseorang bisa berubah hanya karena kehilangan dukungan dari satu figur berpengaruh. Ia bercerita tentang seorang pengusaha sukses yang dengan mudah menghentikan bantuan kepada orang-orang tertentu hanya karena merasa kecewa.
“Saya pernah berkenalan dengan seorang pengusaha yang sangat tangguh dan sukses. Saya mendengar sendiri bagaimana ia memerintahkan bawahannya untuk berhenti membantu orang-orang tertentu hanya karena ia kecewa pada mereka. Jelas orang-orang ini bergantung padanya. Saya merasa kasihan kepada orang-orang malang yang nasibnya berada di tangan pengusaha sukses itu,” kenangnya.
Situasi ini menjadi perenungan besar bagi Tahir. Baginya, kesuksesan yang sejati tidak boleh bergantung sepenuhnya pada belas kasihan orang lain. Ia menolak untuk menjadi seseorang yang hanya tinggi karena diangkat oleh tangan orang lain, dan bisa jatuh kapan saja saat tangan itu menarik dukungan.
“Saya membayangkan jika saya diberi pilihan untuk menjadi seperti orang-orang yang memiliki jabatan tinggi tetapi dapat kehilangan jabatan itu sewaktu-waktu tergantung pada kemauan orang lain. Saya lebih suka menjadi pengusaha moderat yang memiliki kendali atas kesuksesan saya sendiri,” tegasnya.
Baca Juga: Tahir: Menolong dan Berbagi Sama Pentingnya dengan Bisnis