Pemerintah memberlakukan kebijakan impor BBM satu pintu melalui PT Pertamina (Persero). Dengan berlakunya kebijakan tersebut, SPBU yang dikelola oleh perusahaan swasta tidak lagi leluasa untuk mendatangkan BBM dari luar negeri, kecuali melalui Pertamina.
Pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengklaim bahwa kebijakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan peran Pertamina sebagai representasi negara dalam mengelola sumber daya yang menyangkut hajat hidup masyarakat Indonesia.
"Ini (BBM) menyangkut dengan hajat hidup orang banyak. Kalau mau (kuota impor) lebih banyak, silakan berkolaborasi dengan Pertamina karena Pertamina itu representasi negara," ungkap Menteri ESDM beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Kementerian BUMN: Melebur ke Danantara vs Berganti Jadi Badan Penyelenggara BUMN
Selayaknya sebuah kebijakan, regulasi impor BBM satu pintu ini pun menuai pro dan kontra. Bahkan, kebijakan tersebut berpotensi menjadi sinyal lampu kuning tidak hanya bagi iklim investasi di Indonesia, tetapi juga bagi pemenuhan hak konsumen dalam mendapatkan BBM.
Lampu Kuning Iklim Investasi Indonesia
Pengamat ekonomi energi dari UGM, Fahmy Radhi, menilai bahwa kebijakan impor BBM satu pintu melalui Pertamina akan berdampak pada iklim investasi di Indonesia. Bahkan, dampak tersebut tidak hanya terjadi untuk sektor minyak dan gas (migas), tetapi juga meluas ke sektor lainnya.
Fahmy mengatakan, pengelola SPBU swasta tidak lagi memiliki keleluasaan dalam pengadaan impor BBM jika dilakukan satu pintu melalui Pertamina. Padahal, jelas Fahmy, pengadaan BBM melalui impor menjadi salah satu sumber keuntungan bagi SPBU swasta.
Hal tersebut mempertimbangkan bahwa SPBU swasta dapat leluasa memilih negara importis BBM dengan acuan harga yang paling rendah. Selain itu, SPBU swasta juga dapat melakukan efisiensi pengadaan impor BBM. Hal berbeda terjadi ketika kebijakan impor BBM hanya boleh dilakukan lewat Pertamina.
"Mereka (SPBU swasta) harus membeli BBM dari Pertamina dengan harga yang ditetapkan Pertamina. Dalam kondisi tersebut, margin SPBU swasta akan semakin kecil," ungkap Fahmy, dilansir Olenka pada Rabu, 1 Oktober 2025.
Jika hal tersebut terjadi berkepanjangan, lanjut Fahmy, bukan tidak mungkin SPBU swasta akan mengalami kerugian. Jika merugi, pilihan yang ada hanyalah menutup bisnis SPBU dan melakukan PHK karyawan.
"Tutupnya SPBU swasta akan berdampak terhadap iklim investasi di Indonesia, tidak hanya di sektor migas, tetapi juga investasi sektor bisnis lainnya," tegasnya lagi.
Lampu Kuning Pemenuhan Hak Konsumen
Kebijakan impor BBM satu pintu tak hanya berdampak signifikan terhadap kelangsungan bisnis SPBU swasta. Lebih jauh lagi, kebijakan tersebut akan berdampak pada hak konsumen dalam mengakses kebutuhan BBM.
Sebagaimana yang terjadi di lapangan, masyarakat memiliki pilihan untuk membeli BBM di SPBU yang diinginkan, termasuk di antaranya SPBU swasta. Namun beberapa waktu terakhir, kelangkaan BBM terjadi di SPBU swasta. Meski kemudian, pemerintah memberikan solusi bahwa SPBU swasta dapat menambah stok BBM dengan melakukan kolaborasi business to business (B2B) dengan Pertamina.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Rio Priambodo, meminta pemerintah untuk menjaga supply BBM kepada masyarakat, baik dari SPBU BUMN maupun SPBU swasta. Menyoal kolaborasi B2B Pertamina dan swasta, ia berharap hal tersebut tidak mengorbankan konsumen sebagai end user.
"YLKI mendorong pemerintah menjaga fairness business agar tidak ada terjadi persaingan usaha tidak sehat di antara operator dan merugikan konsumen," tegas Rio kepada Olenka, Rabu (1/10/2025).
Rio menambahkan, pemerintah harus membuat peta kebijakan supply yang lebih baik sehingga tidak terjadi kekosongan BBM, baik di SPBU BUMN maupun SPBU swasta.
"YLKI meminta tahun depan pemerintah harus buat roadmap supply BBM, baik ke BUMN maupun ke swasta agar kejadian kekosongan BBM di SPBU swasta tidak terjadi lagi," tutupnya.