Sejumlah pengamat menyoroti adanya kemungkinan pelanggaran hukum dari kebijakan impor BBM satu pintu. Kementerian ESDM memutuskan bahwa SPBU swasta Indonesia hanya bisa membeli BBM dari Pertamina sepanjang sisa tahun 2025 ini guna memenuhi kebutuhan kuota BBM mereka.
Pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, memperingatkan kemungkinan persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh Pertamina. Ditakutkan, Pertamina tersandung kasus praktik antimonopoli ketika kebijakan yang dijalankan justru merugikan masyarakat.
“Pihak swasta dipaksa untuk membeli minyak dari Pertamina yang notabene adalah pesaing mereka. Jelas ini ada tumpang tindih antara regulator dengan operator. Pemerintah sebagai regulator mengatur kewenangan BUMN Pertamina (bagian dari pemerintah juga) untuk menjadi importir tunggal,” jelasnya kepada Olenka belum lama ini, dikutip Sabtu (4/10/2025).
Hal itu memicu opini dan dugaan persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh Pertamina. Alasannya, ada integrasi vertikal antara usaha Pertamina untuk menjual ke masyarakat dan juga aktivitas Pertamina sebagai pemasok bahan baku minyak yang juga dibutuhkan oleh penjual BBM swasta. Kedua, ada dominasi yang berujung pada tindakan melawan persaingan usaha yang sehat ketika importir tunggal.
“Ketika SPBU swasta membeli minyak dari Pertamina, Pertamina sangat bisa untuk mengatur kuota masing-masing SPBU. Kemudian, ketika kuota ini habis, akan terjadi kelangkaan BBM di SPBU swasta. Yang dirugikan adalah masyarakat karena sedikitnya pilihan produk,” terang Huda.
Padahal, keberadaan SPBU swasta dinilai telah membantu Pemerintah Indonesia untuk mengurangi beban kompensasi yang dibayarkan ke Pertamina. Nailul Huda menekankan bahwa tugas negara adalah menyediakan pilihan bagi masyarakat untuk mengonsumsi barang, termasuk BBM berkualitas.
“Meskipun dalam UU Anti Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat ada pengecualian bagi BUMN yang memproduksi dan mendistribusikan barang untuk hajat hidup orang banyak, hal tersebut juga harus berdasarkan perlindungan kepada konsumen. Ketika monopoli justru merugikan masyarakat, saya rasa Pertamina bisa tersandung kasus praktik antimonopoli,” tegasnya.
Tidak hanya Pertamina, Pemerintah Indonesia selaku regulator juga berpotensi menghadapi gugatan hukum. Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Rhenald Kasali, mengingatkan bahwa kontrol impor yang berimbas pada pemain global seperti seperti Shell (Belanda/Inggris) dan BP (Inggris) sering muncul dalam gugatan di pengadilan Internasional.
“Langkah-langkah protektif atau kontrol impor yang luas seringkali muncul dalam daftar hambatan dagang yang dilaporkan oleh negara partner (misal laporan NTE/USTR) dan dapat memengaruhi persepsi risiko perdagangan,” jelasnya kepada Olenka.
Butuh Regulasi yang Jelas
Oleh karena itu, Rhenald Kasali menekankan pentingnya regulasi yang jelas dan berdasarkan asas antidiskriminatif guna menjaga iklim investasi dalam negeri.
“Kebijakan ini perlu didukung oleh transparansi, jangka waktu persiapan, dan penjelasan tentang tujuan, misalnya untuk menjamin keamanan pasokan. Jika desainnya jelas: komersial, non-diskriminatif, dan sementara, risiko investasi bisa minimal,” ungkapnya.
Jika dilakukan terburu-buru tanpa aturan yang jelas, ini akan meningkatkan kekhawatiran para investor atas tidak jelasnya kebijakan dalam negeri. Terganggunya alur investasi akan mengganggu perkembangan bisnis yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional. Padahal, target pertumbuhan ekonomi 8% perlu didukung dengan kepastian dunia usaha.