Pengamat Hukum Fernandes Raja Saor, turut menyoroti surat dakwaan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, atas kerugian negara akibat tata kelola bahan bakar minyak (BBM) mencapai Rp2,54 triliun.
Dalam dakwaan yang juga menyeret mantan Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, terdapat juga beberapa perusahaan yang diduga ikut menikmati harga solar non-subsidi di bawah ketentuan harga pasar selama periode 2021-2023.
Menurutnya, penyebutan nama-nama tersebut dinilai belum tentu menandakan adanya pelanggaran dari sisi pembeli, melainkan potensi kelalaian tata kelola dari pihak pemasok BBM. Sebab, salah satu inti dakwaan adalah penetapan harga jual BBM oleh Patra Niaga yang terlalu rendah.
"Jaksa menuduh bahwa terdakwa menjual BBM non-subsidi kepada perusahaan swasta dengan harga yang lebih murah dari harga jual minimum (bottom price) yang seharusnya, bahkan ada yang lebih rendah dari harga pokok produksi Pertamina Patra Niaga," urainya dalam keterangannya, Jumat (14/11/2025).
Baca Juga: Sinyal dari Bahlil: Kuota Impor BBM SPBU Swasta 2026 Tetap 110%
Baca Juga: Membidik Kemandirian Energi Lewat Mandatori Campuran Etanol 10 Persen pada BBM
Lanjutnya, ia menyebut jika dalam rantai bisni minyak dan gas, pembeli tidak memiliki kendali atas perhitungan harga dasar, melainkan tunduk pada penawaran resmi dari pemasok.
"Pembeli kan biasanya menggunakan proses tender untuk mencari harga termurah, dan selama ini membeli BBM dari Patra Niaga karena selalu ditawarkan harga termurah. HPP dan Bottom Price Patra Niaga kan bukan informasi umum juga jadi wajar kalau pembeli tidak mengetahui harganya berapa," urainya lagi.
Tambah dia, pejabat hukum perlu mengamil langkah hati-hati agar pemberitaan tidak menimbulkan kesan penyertaan kolektif. "Masyarakat harus paham bahwa nama pembeli itu muncul sebagai penerima manfaat pasif, bukan pelaku aktif. Sebelum adanya bukti yang menunjukkan ada perbuatan pidana yang dilakukan, framing publik harus hati-hati agar tidak menimbulkan panic reaction di bursa atau sentimen negatif yang tidak berdasar," katanya.
Sementara itu, ada aturan dan prinsip yang perlu dicermati terkait konsekuensi hukum perusahaan atau korporasi swasta, yang sebagian merupakan perusahaan anak dari sebuah holding company. Secara umum sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), pengambilan keputusan oleh anak perusahaan yang berstatus Perseroan Terbatas (PT) di Indonesia tidak secara otomatis dipertanggungjawabkan oleh holding company (perusahaan induk).
Fernandes Raja Saor mengatakan kasus ini justru bisa menjadi momentum bagi perusahaan untuk menunjukkan komitmen terhadap transparansi dan kepatuhan kontraktual.
"Kalau perusahaan secara terbuka menjelaskan posisi mereka dan siap bekerja sama dengan audit investigatif, itu akan meningkatkan kredibilitas korporasi di mata investor," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, Kejaksaan masih terfokus pada dugaan pelanggaran tata kelola internal di Pertamina Patra Niaga, terutama pada proses persetujuan harga dan evaluasi profitabilitas produk solar industri, dan belum menetapkan pihak-pihak korporasi sebagai tersangka.