Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Rhenald Kasali, meminta Pemerintah Indonesia menjalankan kebijakan impor bahan bakar minyak (BBM) lewat PT Pertamina (Persero) atau yang sering disebut Impor BBM Satu Pintu dengan regulasi yang jelas.
Sepanjang sisa tahun 2025 ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia mewajibkan SPBU swasta mengimpor BBM lewat Pertamina. Di tengah sorotan kemungkinan adanya praktik monopoli, Rhenald Kasali mengatakan bahwa kebijakan impor BBM satu pintu perlu didukung oleh transparansi dan aturan yang antidiskriminatif.
Baca Juga: Kebijakan Impor BBM Satu Pintu: Lampu Kuning Iklim Investasi dan Pemenuhan Hak Konsumen?
“Kebijakan ini perlu didukung oleh transparansi, jangka waktu persiapan, dan penjelasan tentang tujuan, misalnya untuk menjamin keamanan pasokan—negara lain (dan Indonesia sendiri) sering memberi peran lebih besar kepada BUMN di sektor strategis untuk memastikan ketersediaan dan stabilitas harga. Jika desainnya jelas: komersial, non-diskriminatif, dan sementara, risiko investasi bisa minimal,” jelasnya kepada Olenka, Kamis (2/10/2025).
Dengan aturan yang jelas & adanya transparansi, negara yang menerapkan mekanisme single window administratif justru mempercepat proses impor (single submission) sehingga mempermudah perdagangan, asalkan bukan single buyer.
”Banyak negara membangun single window untuk memfasilitasi, bukan menghambat perdagangan,” tegasnya.
Risiko Ekonomi di Balik Kebijakan Asal-asalan
Menurut Rhenald, jika dilaksanakan tanpa aturan yang jelas, kebijakan impor BBM satu pintu bisa menjadi lampu kuning bagi iklim investasi Indonesia. Penetapan kebijakan yang tiba-tiba mengindikasikan adanya ketidakpastian kebijakan yang mampu memengaruhi minat investor asing. Penelitian menunjukkan bahwa ketidakpastian kebijakan perdagangan dan screening dapat menahan investasi, khususnya di sektor energi.
“Kebijakan ini juga menimbulkan risiko pembatasan pasar & persaingan jika kebijakan ditafsirkan sebagai penyerahan hak impor eksklusif ke satu entitas. Pelaku pasar kemungkinan kehilangan akses pasar atau menghadapi hambatan administrasi; ini mengurangi daya tarik investasi hilir energi,” katanya.
Tidak hanya itu, adanya sentralisasi usaha tanpa pengawasan independen bisa membuka peluang favoritisme dan birokrasi yang merugikan pemain efisien sehingga menimbulkan potensi praktik rent-seeking. Lebih luas, kebijakan yang menyasar berbagai pemain bisnis global ini, seperti Shell (Belanda/Inggris) dan BP (Inggris), bisa menimbulkan gugatan di pengadilan Internasional.
“Langkah-langkah protektif atau kontrol impor yang luas seringkali muncul dalam daftar hambatan dagang yang dilaporkan oleh negara partner (misal laporan NTE/USTR) dan dapat memengaruhi persepsi risiko perdagangan,” pungkasnya.