Kemudian yang kedua, lanjut Ajib, sektor UMKM dan usaha padat karya seperti pertanian, perikanan, dan kelautan Indonesia ini masih sangat rentan. Sebagai ilustrasi, kata Ajib, petani jagung Indonesia rata-rata hanya mampu memproduksi 7–9 ton per hektare dengan Harga Pokok Penjualan (HPP) sekitar Rp4.000–Rp5.000/kg.

“Bandingkan dengan negara-negara seperti Amerika atau Afrika Selatan yang mampu menghasilkan 15 ton per hektare berkat penerapan teknologi canggih. Ketimpangan ini bisa menyebabkan produk lokal sulit bersaing dari sisi harga dan kualitas,” terang Ajib.

Selanjutnya yang ketiga, potensi peningkatan pengangguran di Indonesia juga menjadi risiko yang nyata. Dikatakan Ajib, jika UMKM tak mampu bertahan dalam persaingan dengan produk impor, maka akan banyak pelaku usaha yang gulung tikar dan berujung pada pemutusan hubungan kerja.

“Nah kemudian resiko yang ketiga adalah berbicara masalah potensi bertambahnya pengangguran.Dengan adanya UMKM-UMKM yang tutup, kemudian sektor yang padat karya juga menjadi berkurang, maka resiko yang ketiga adalah berbicara masalah peningkatan pengangguran yang ada,” beber Ajib.

Dan keempat, yakni risiko terhadap neraca perdagangan Indonesia. Menurut Ajib, masuknya barang-barang impor dalam jumlah besar bisa memicu defisit perdagangan yang berdampak pada tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Dan menurutnya, dalam jangka panjang kondisi ini akan memengaruhi kebijakan moneter dan fiskal, terutama karena sebagian pembiayaan APBN bergantung pada pinjaman luar negeri.

“Kemudian yang keempat yang juga harus kita mitigasi dengan baik adalah berbicara masalah neraca dagang Indonesia. Dengan adanya semakin banyak barang impor yang masuk, tentunya neraca dagang kita akan mengalami kontraksi, dan kita akan menghadapi negatif dagang dengan negara mitra secara global,” papar Ajob.

Karenanya, lanjut Ajib, dengan semua pertimbangan ini, kebijakan penghapusan kuota impor perlu dilakukan dengan strategi yang matang dan langkah-langkah pengamanan yang jelas.

Dikatakannya juga, pemerintah harus mampu menyeimbangkan antara upaya membuka pasar dan perlindungan terhadap ekonomi domestik. Tanpa itu, kata dia, bukan tidak mungkin Indonesia hanya akan menjadi pasar konsumsi, bukan produsen yang kuat di kancah global.

“Sehingga ketika kemudian itu terjadi, potensi dan risikonya ada di kebijakan moneter, karena daya tekan kita terhadap mata uang rupiah akan semakin besar, dan tentunya kebijakan fiskal kita akan semakin tertekan, karena sebagian APBN kita ditopang oleh utang, termasuk utang dengan valuta asing,” tandas Ajib.

Baca Juga: Saran Ajib Hamdani untuk Penguatan Nilai Tukar Rupiah: Harus Ada Jalan Tengah!