Di tengah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melambat, hanya di angka 4,87% selama kuartal I tahun 2025, Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari sebelumnya 4,9% menjadi hanya 4,7% untuk tahun 2025. Sementara itu, Pemerintah Indonesia tetap berupaya mencapai pertumbuhan di angka 5% pada akhir tahun nanti.
Merespons hal tersebut, Ajib Hamdani selaku Analis Kebijakan Ekonomi APINDO meminta Presiden Prabowo Subianto untuk memanfaatkan government spending sebagai stimulus utama. Prinsip belanja pemerintah, menurutnya, harus lebih mengedepankan spending better, yaitu prudent dalam melakukan pola belanja pemerintah yang mendorong pertumbuhan ekonomi dengan maksimal.
Baca Juga: Puji Program MBG, LPS: Ini Menjadi Solusi Pemerataan Ekonomi Rakyat
"Pemerintah harus fokus dengan pro-job creation, ketahanan pangan dan energi. Hal ini sejalan dengan program Asta Cita Presiden Parbowo Subianto, yaitu meningkatkan lapangan kerja yang berkualitas," ujarnya di Jakarta, Selasa (10/6/2025).
Selain itu, pemerintah harus membuat orientasi jangka pendek pada bulan Juni dan selanjutnya pada semester kedua 2025. Program stimulus ekonomi yang fokus dengan pola Bantuan Langsung Tunai (BLT) dinilai akan efektif meningkatkan konsumsi masyarakat dan mendongkrak daya beli. Harapannya, pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua 2025 bisa lebih tinggi, atau minimal bertahan dibandingkan kuartal pertama.
Ajib menuturkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya di kisaran 4,87% pada kuartal I tahun 2025 memang cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi kuartal I tahun 2024 mencapai 5,11% dengan pertumbuhan ekonomi secara agregat pada tahun 2024 sebesar 5,03%. Kuartal pertama biasanya pertumbuhan ekonomi cukup eskalatif karena ada siklus tahunan rutin berupa Lebaran hari raya yang cukup mendongkrak perputaran uang dan konsumsi masyarakat.
"Dalam kondisi ceteris paribus ekonomi dan tidak ada intervensi pemerintah, potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 bisa di bawah 4,87%. Apalagi, tren kuartal kedua juga menunjukkan indikator-indikator yang mengarah pada pelemahan ekonomi seperti Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur April dan Mei yang mengalami konstraksi di kisaran 46,7 dan 47,4. Konstraksi PMI Manufaktur ini secara umum memberikan gambaran dan menjadi indikator penurunan daya beli masyarakat," jelas Ajib.
Faktor Pelemahan Ekonomi Indonesia
Kondisi pelemahan indikator-indikator makro pertumbuhan ekonomi Indonesia disebabkan paling tidak karena 4 (empat) hal. Pertama, kemampuan konsumsi masyarakat yang menurun. Hal ini didukung dengan data gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sejak awal tahun yang sudah menyentuh lebih dari 70 ribu pada kuartal pertama 2025. Data kemiskinan di Indonesia juga mengalami peningkatan, bahkan dengan standar dari World Bank, tahun 2024 di Indonesia yang masuk kategori miskin mencapai 60,3%. Kondisi ini sejalan dengan penurunan daya beli masyarakat.
Faktor kedua adalah pola government spending pada awal tahun 2025. Penerimaan pajak pada kuartal I 2025 hanya mencapai 14,7% dari target penerimaan yang idealnya bisa mencapai 20%. Kemudian, pemerintah melakukan program efisiensi belanja sehingga memberikan sentimen negatif terhadap pertumbuhan ekonomi pada periode awal tahun.
Faktor ketiga adalah konstraksi ekonomi karena faktor eksternal, terutama karena kebijakan tarif Trump. Kondisi ini membuat permintaan barang terutama dari Amerika mengalami penurunan dan neraca transaksi keuangan sejak bulan April 2025. Kompleksitas kebijakan efek tarif Trump ini memberikan sentimen negatif selama kuartal kedua.
Keempat, pelambatan ekonomi terjadi karena sisi investasi yang lebih banyak terkonsentrasi pada sektor padat modal. Akibatnya, multiplier effect terhadap penyerapan tenaga kerja kurang maksimal. Membandingkan data 10 tahun ke belakang, tahun 2014 setiap Rp1 triliun bisa menyerap sampai dengan 4.000 tenaga kerja, sedangkan pada tahun 2024, setiap Rp1 triliun investasi menyerap kisaran 1.000 tenaga kerja. Target investasi tahun 2025 sebesar Rp1.905,6 triliun diharapkan bisa menyerap lebih dari 3,59 juta tenaga kerja baru.
"Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, pada Selasa, 10 Juni 2025, menyatakan akan mendorong program-program insentif dan stimulus agar pertumbuhan ekonomi tetap terjaga di kisaran 5%. Program yang didorong oleh Menko Ekonomi sudah tepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tahun 2025, minimal di angka 5%. Hal ini akan menjadi fondasi yang positif menjelang memasuki tahun 2026, di mana pemerintah sudah mempunyai proyeksi pertumbuhan ekonomi yang lebih eskalatif di kisaran 5,2%-5,8% sesuai dengan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) tahun 2026," pungkas Ajib Hamdani.