Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, menyoroti soal pernyataan Presiden RI, Prabowo Subianto, di acara Seserahan Ekonomi Nasional pada tanggal 8 April 2025 lalu yang memerintahkan jajarannya untuk menghapus atau menghilangkan kuota impor, terutama terhadap komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Dikatakan Ajib, terkait pernyataan Kepala Negara tersebut, ada beberapa hal positif dan negatif yang harus dievaluasi secara komprehensif. Menurutnya, Presiden Prabowo menyampaikan tiga tujuan utama dari kebijakan ini. Pertama, menghapus praktik rente ekonomi atau rent-seeking, yang selama ini menjadi salah satu persoalan dalam sistem perizinan impor.
Kedua, membuka peluang lebih luas bagi importir baru untuk masuk ke pasar dalam suasana persaingan yang lebih sehat dan transparan. Dan ketiga, memberikan keuntungan bagi masyarakat sebagai konsumen akhir dengan harga yang lebih terjangkau dan pilihan barang yang lebih beragam.
“Menurut saya, ada tiga hal positif yang memang harus kita akui tentang bagaimana ketika kebijakan Pak Prabowo Subianto untuk membuka keran impor seluas-luasnya. Yang pertama adalah bagaimana Pak Prabowo ingin menghilangkan para pemburu rente. Yang kedua adalah bagaimana Pak Prabowo Subianto ingin agar semakin banyak importir dan dalam persaingan yang terbuka dan transparan,” papar Ajib, kepada Olenka, belum lama ini.
“Dan, yang ketiga adalah bagaimana agar masyarakat di ujung itu bisa mendapatkan harga yang lebih murah dan barang yang lebih pilihan-pilihannya lebih banyak. Tiga hal positif itu yang tentunya menjadi perhatian Pak Presiden,” sambung Ajib.
Namun, kata Ajib, kebijakan ini tentu tidak tanpa tantangan. Menurutnya, setidaknya terdapat empat hal penting yang perlu dimitigasi agar dampak negatifnya bisa ditekan seminimal mungkin.
“Jadi, ketika kemudian kebijakan ini akan dijalankan ke depannya, paling tidak ada empat hal yang perlu dimitigasi dengan baik oleh pemerintah,” ujar Ajib.
Pertama, kata Ajib, daya saing ekonomi domestik saat ini masih tergolong rendah. Menurutnya, tingkat produktivitas nasional, baik di sektor industri maupun pertanian, belum mampu bersaing secara optimal dengan negara-negara yang memiliki teknologi dan efisiensi produksi lebih tinggi. Akibatnya, jika keran impor dibuka terlalu lebar, produk lokal berisiko tersingkir di pasar sendiri.
“Jadi yang pertama yang harus kita sadari bahwa daya saing ekonomi kita masih sangat rendah, produktivitas kita masih rendah, sehingga ketika kemudian pasar impor dibuka dengan seluas-luasnya, maka potensinya adalah barang dan komunitas Indonesia akan daya saingnya akan sangat berkurang. Ini yang perlu kita cermati dengan baik. Sehingga potensinya apa? Indonesia akan menjadi pasar impor,” jelas Ajib.
Baca Juga: Pandangan Dunia Usaha Soal Rencana Hapus Kuota Impor
Kemudian yang kedua, lanjut Ajib, sektor UMKM dan usaha padat karya seperti pertanian, perikanan, dan kelautan Indonesia ini masih sangat rentan. Sebagai ilustrasi, kata Ajib, petani jagung Indonesia rata-rata hanya mampu memproduksi 7–9 ton per hektare dengan Harga Pokok Penjualan (HPP) sekitar Rp4.000–Rp5.000/kg.
“Bandingkan dengan negara-negara seperti Amerika atau Afrika Selatan yang mampu menghasilkan 15 ton per hektare berkat penerapan teknologi canggih. Ketimpangan ini bisa menyebabkan produk lokal sulit bersaing dari sisi harga dan kualitas,” terang Ajib.
Selanjutnya yang ketiga, potensi peningkatan pengangguran di Indonesia juga menjadi risiko yang nyata. Dikatakan Ajib, jika UMKM tak mampu bertahan dalam persaingan dengan produk impor, maka akan banyak pelaku usaha yang gulung tikar dan berujung pada pemutusan hubungan kerja.
“Nah kemudian resiko yang ketiga adalah berbicara masalah potensi bertambahnya pengangguran.Dengan adanya UMKM-UMKM yang tutup, kemudian sektor yang padat karya juga menjadi berkurang, maka resiko yang ketiga adalah berbicara masalah peningkatan pengangguran yang ada,” beber Ajib.
Dan keempat, yakni risiko terhadap neraca perdagangan Indonesia. Menurut Ajib, masuknya barang-barang impor dalam jumlah besar bisa memicu defisit perdagangan yang berdampak pada tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Dan menurutnya, dalam jangka panjang kondisi ini akan memengaruhi kebijakan moneter dan fiskal, terutama karena sebagian pembiayaan APBN bergantung pada pinjaman luar negeri.
“Kemudian yang keempat yang juga harus kita mitigasi dengan baik adalah berbicara masalah neraca dagang Indonesia. Dengan adanya semakin banyak barang impor yang masuk, tentunya neraca dagang kita akan mengalami kontraksi, dan kita akan menghadapi negatif dagang dengan negara mitra secara global,” papar Ajob.
Karenanya, lanjut Ajib, dengan semua pertimbangan ini, kebijakan penghapusan kuota impor perlu dilakukan dengan strategi yang matang dan langkah-langkah pengamanan yang jelas.
Dikatakannya juga, pemerintah harus mampu menyeimbangkan antara upaya membuka pasar dan perlindungan terhadap ekonomi domestik. Tanpa itu, kata dia, bukan tidak mungkin Indonesia hanya akan menjadi pasar konsumsi, bukan produsen yang kuat di kancah global.
“Sehingga ketika kemudian itu terjadi, potensi dan risikonya ada di kebijakan moneter, karena daya tekan kita terhadap mata uang rupiah akan semakin besar, dan tentunya kebijakan fiskal kita akan semakin tertekan, karena sebagian APBN kita ditopang oleh utang, termasuk utang dengan valuta asing,” tandas Ajib.
Baca Juga: Saran Ajib Hamdani untuk Penguatan Nilai Tukar Rupiah: Harus Ada Jalan Tengah!