Dalam perjalanan panjang jurnalistik Indonesia, perempuan memainkan peran yang tak kalah penting dari rekan-rekan laki-lakinya. Mereka bukan hanya pembawa berita, tetapi juga penggerak perubahan sosial dan penyampai suara yang kerap diabaikan.
Dari masa perjuangan kemerdekaan hingga era digital, banyak jurnalis perempuan yang menorehkan jejak berarti dalam dunia media. Mereka menunjukkan bahwa pena dan suara perempuan mampu mengguncang sistem dan menggugah kesadaran publik. Berikut sepuluh di antaranya yang menginspirasi lintas generasi.
1. Rohana Kudus
Rohana Kudus lahir pada 20 Desember 1884 di Koto Gadang, Sumatera Barat, di tengah masa ketika pendidikan bagi perempuan masih sangat terbatas. Namun, semangatnya untuk belajar dan menulis melampaui batas zamannya.
Ia dikenal sebagai jurnalis perempuan pertama di Indonesia sekaligus pendiri surat kabar Soenting Melajoe pada tahun 1912. Media tersebut sepenuhnya ditulis dan dikelola oleh perempuan.
Baca Juga: Mengenal Sosok dan Perjalanan Karier Meutya Hafid, dari Jurnalis Kini Duduki Kursi Menteri
Melalui Soenting Melajoe, Rohana menyuarakan pentingnya pendidikan dan kemandirian perempuan. Tulisan-tulisannya membangkitkan kesadaran bahwa perempuan juga berhak berpikir, bekerja, dan berperan dalam kemajuan bangsa.
Selain menjadi wartawan, ia juga mendirikan sekolah keterampilan bagi kaum perempuan di Koto Gadang, menegaskan bahwa pemberdayaan perempuan harus dimulai dari pendidikan.
Hingga akhir hayatnya pada 17 Agustus 1972, Rohana tetap dikenang sebagai simbol keberanian dan emansipasi. Namanya kini diabadikan sebagai Pahlawan Nasional, mengingat perannya yang membuka jalan bagi jurnalis perempuan di Indonesia.
2. Siti Latifah Herawati Diah
Siti Latifah Herawati Diah, lahir di Tanjung Pandan pada 3 April 1917, adalah perempuan pertama Indonesia yang menempuh pendidikan jurnalistik di Amerika Serikat. Ia menamatkan studi di Barnard College, Columbia University, jurusan sosiologi.
Baca Juga: Polemik Pencabutan ID Pers Istana Jurnalis CNN
Sepulang dari Amerika, Herawati memulai kariernya sebagai wartawan lepas untuk United Press International (UPI). Tak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia dan suaminya, B.M. Diah, mendirikan Harian Merdeka, media yang menjadi corong perjuangan kemerdekaan.
Pada 1955, keduanya juga meluncurkan The Indonesian Observer, surat kabar berbahasa Inggris yang menghubungkan Indonesia dengan dunia internasional.
Herawati Diah dikenal tak hanya sebagai wartawan, tetapi juga pendidik dan pejuang kemanusiaan. Ia aktif memperjuangkan kebebasan pers, hak perempuan, serta kesetaraan dalam dunia profesional.
Baca Juga: Serba-serbi Rencana Pemerintah Gagas Dana Abadi Jurnalisme
Hingga wafatnya pada 30 September 2016, Herawati meninggalkan warisan penting, yakni jurnalisme yang berintegritas dan berpikiran global.
3. Najwa Shihab
Lahir di Makassar pada 16 September 1977, Najwa Shihab tumbuh dalam lingkungan keluarga akademik dan religius. Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ia mengawali karier jurnalistiknya di MetroTV pada 2001 dan dengan cepat mencuri perhatian publik lewat gaya wawancara yang tajam dan berani.
Program Mata Najwa yang ia pandu menjadi ikon jurnalisme televisi modern. Lewat program itu, Najwa menantang pejabat publik, menggali isu sosial, dan menghidupkan diskusi politik yang mencerahkan masyarakat.
Baca Juga: Najwa Shihab, Sosok Jurnalis Perempuan yang Menginspirasi dan Berdedikasi
Setelah keluar dari MetroTV, ia mendirikan Narasi, yakni platform media digital independen yang fokus pada pemberdayaan jurnalis muda, konten edukatif, dan indepth report.
Najwa juga dikenal lewat inisiatif “Narasi Academy” dan program literasi digitalnya yang menyasar generasi muda. Ia membuktikan bahwa jurnalisme tak mati di era media sosial, melainkan berevolusi menjadi ruang kolaboratif untuk perubahan sosial.
4. Uni Zulfiani Lubis
Uni Zulfiani Lubis, atau yang akrab disapa Uni, lahir di Jakarta pada 29 November 1967. Lulusan Institut Pertanian Bogor ini meniti karier jurnalistik sejak 1989 di Warta Ekonomi.
Ketegasannya dalam prinsip dan integritas membawanya menduduki posisi strategis di sejumlah media besar, seperti Panji Masyarakat, ANTV, dan Rappler Indonesia.
Baca Juga: Pandangan Uni Lubis terkait Nasib Demokrasi dan Kebebasan Pers di Era Prabowo Subianto
Kini, Uni menjabat sebagai Pemimpin Redaksi IDN Times, media digital yang banyak digandrungi generasi muda. Di bawah kepemimpinannya, IDN Times tumbuh menjadi platform yang menyeimbangkan berita faktual dengan gaya yang inklusif dan progresif.
Uni juga aktif memperjuangkan isu kesetaraan gender dan keamanan bagi perempuan di ruang redaksi. Baginya, jurnalisme bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan untuk menegakkan kebenaran dan menciptakan lingkungan media yang etis dan manusiawi.
5. Rosiana Silalahi
Rosiana Silalahi, lahir di Pangkalpinang pada 26 September 1972, adalah salah satu figur penting di dunia penyiaran televisi Indonesia. Ia memulai karier sebagai reporter TVRI, lalu bergabung dengan SCTV dan menjadi wajah ikonik program Liputan 6.
Dikenal dengan sikap lugas dan profesional, Rosi menempuh perjalanan panjang sebelum akhirnya dipercaya menjadi Pemimpin Redaksi Kompas TV. Di bawah kepemimpinannya, Kompas TV tampil sebagai salah satu media yang mengutamakan kredibilitas, independensi, dan keberagaman sudut pandang.
Baca Juga: 5 Tokoh Perempuan yang Mengguncang Dunia Jurnalistik di Indonesia
Melalui acara Rosi, ia menghidupkan ruang dialog publik yang kritis. Rosiana menjadi contoh bahwa integritas dan keberanian berbicara di depan publik adalah kekuatan utama seorang jurnalis.
6. Desi Anwar
Desi Anwar lahir di Bandung pada 11 Desember 1962 dan dikenal sebagai salah satu jurnalis televisi paling berpengaruh di Indonesia. Lulusan University of Sussex dan SOAS University of London ini memulai kariernya di RCTI pada awal 1990-an sebagai anchor berita.
Setelah berpindah ke MetroTV dan kemudian CNN Indonesia, Desi dikenal dengan gaya wawancaranya yang reflektif dan mendalam. Melalui program Insight with Desi Anwar, ia tidak hanya mengupas isu-isu politik dan sosial, tetapi juga menggali sisi manusiawi dari para tokoh yang diwawancarainya.
Baca Juga: Rekomendasi Daftar Buku Karya Desi Anwar, Ada yang Jadi Favoritmu Gak?
Selain aktif di media, Desi juga menulis buku dan kolom tentang kehidupan, budaya, serta refleksi diri. Bagi banyak orang, Desi mewakili sosok jurnalis yang memadukan kecerdasan intelektual dengan empati kemanusiaan.
7. Petty S. Fatimah
Sebagai Editor in Chief Femina sejak 2003, Petty S. Fatimah membawa visi baru bagi media perempuan Indonesia. Lulusan Universitas Padjadjaran dan Universitas Indonesia ini mengarahkan Femina agar tidak hanya berbicara tentang gaya hidup, tetapi juga tentang nilai, karier, dan keberanian perempuan dalam mengambil keputusan.
Di bawah kepemimpinannya, Femina tumbuh menjadi komunitas pembaca yang aktif dan solid. Ia memperkenalkan berbagai program seperti Femina Womanpreneur Competition dan She Creates, yang memberi ruang bagi perempuan wirausaha dan kreatif untuk berkembang.
8. Balques Manisang
Balques Manisang lahir di Manado pada 11 November 1985 dan dikenal sebagai jurnalis tangguh tvOne. Lulusan London School of Public Relations ini memulai kariernya sebagai reporter lapangan dan kini dikenal sebagai salah satu anchor utama yang berpengalaman menghadapi liputan krisis dan bencana.
Baca Juga: Lebih Penting IPK atau Pengalaman Organisasi? Ini Kata Najwa Shihab
Balques pernah viral ketika tetap profesional saat menghadapi gangguan teknis dan situasi darurat saat siaran langsung. Keteguhannya itu membuat publik menghargai ketenangan dan profesionalismenya sebagai jurnalis.
Dengan pengalaman liputan di dalam dan luar negeri, Balques menjadi representasi perempuan muda yang kompeten dan siap menghadapi kerasnya dunia pemberitaan.
9. Devi Asmarani
Devi Asmarani adalah pendiri dan Pemimpin Redaksi Magdalene.co, media digital yang lahir pada 2013 dengan visi memperjuangkan kesetaraan gender dan keberagaman. Sebelum mendirikan Magdalene, Devi berkarier sebagai jurnalis di The Jakarta Post dan sejumlah media internasional.
Melalui Magdalene, Devi memberi ruang bagi cerita-cerita yang sering diabaikan media arus utama—tentang perempuan, minoritas, dan kelompok marjinal.
Baca Juga: Deretan Perempuan Inspiratif di Bidang Sastra
Kini, Magdalene tidak hanya media, tetapi juga gerakan sosial. Di bawah kepemimpinan Devi, banyak generasi muda belajar menulis dan berpikir kritis dari perspektif yang lebih inklusif.
10. Evi Mariani
Evi Mariani merupakan salah satu pendiri Project Multatuli, media independen yang mengusung semangat “jurnalisme untuk yang dipinggirkan.” Sebelumnya, ia dikenal sebagai jurnalis dan Managing Editor di The Jakarta Post, tempatnya bekerja selama hampir dua dekade.
Latar belakangnya di jurnalisme investigatif membuat Evi kerap menyoroti isu-isu ketimpangan sosial, kemiskinan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Melalui Project Multatuli, ia ingin menghadirkan jurnalisme yang benar-benar mendengarkan suara rakyat kecil dan menolak tunduk pada kepentingan korporasi maupun politik.
Baca Juga: 6 Atlet Panjat Tebing Perempuan Indonesia yang Bikin Bangga
Dengan pendekatan humanis dan kerja jurnalistik yang mendalam, Evi Mariani kini menjadi simbol dari semangat media independen Indonesia yang berintegritas dan berkeadilan.
Dari Rohana Kudus hingga Evi Mariani, deretan perempuan ini membuktikan bahwa jurnalisme bukan sekadar profesi, melainkan perjuangan untuk kebenaran dan kemanusiaan. Di tangan mereka, berita menjadi senjata untuk melawan ketidakadilan, dan media menjadi ruang bagi perempuan untuk didengar.