Parlemen Eropa berencana untuk menghapus penggunaan Biodiesel dari minyak nabati pada tahun 2030 dan dari minyak kelapa sawit, termasuk dari Indonesia, pada tahun 2021 lalu.

Upaya tersebut akan diwujudkan lewat pemungutan suara rancangan Proposal Energi bertajuk “Report on the Proposal for a Directive of the European Parliament and of the Council on the Promotion of the use of Energy from Renewable Sources”.

Pemerintah Indonesia berpandangan bahwa usulan Komite Lingkungan Hidup (ENVI) Parlemen Eropa bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas yang adil dan menjurus kepada terjadinya diskriminasi (crop apartheid) terhadap produk sawit di Uni Eropa.

Untuk itu, pemerintah Indonesia berkepentingan untuk mengadvokasi pentingnya kelapa sawit sebagai salah satu elemen utama dari kepentingan nasional Indonesia, terutama menyangkut dengan kesejahteraan warga Indonesia, termasuk petani kecil yang bergantung langsung atau tidak langsung dari industri kelapa sawit.

Pada 2019 lalu, Indonesia bersama Malaysia dan Kolombia melakukan joint mission ke Brussel, Belgia sebagai upaya diplomasi kepada Uni Eropa (UE). Diplomasi ini dilakukan untuk menjaga kelangsungan industri dan perlindungan kepada para petani kelapa sawit atas diskriminasi terhadap komoditas kelapa sawit.

Baca Juga: Meneropong Masa Depan Industri Kelapa Sawit di Indonesia, Dilihat dari Berbagai Aspek

Adapun beberapa keberatan dan concern Indonesia pada delegated regulation tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Faktanya kelapa sawit memiliki produktivitas yang jauh lebih tinggi (8-10 kali) dan penggunaan lahan yang jauh lebih kecil dibandingkan minyak nabati lainnya.
  2. Dengan pertumbuhan permintaan vegetable oils yang terus bertumbuh, maka apabila phase-out terhadap kelapa sawit dilakukan, maka justru akan menyebabkan pembukaan lahan baru yang masif untuk produk vegetable oils lainnya.
  3. Penggunaan basis awal tahun 2008 sebagai metodologi penghitungan dari ILUC dilakukan tanpa alasan yang kuat. Penetapan tahun 2008-2015 sangat merugikan kelapa sawit dan menguntungkan vegetable oils lainnya.

Sementara itu, kesimpulan yang bisa ditarik dari rangkaian pertemuan di Brussel ini, antara lain:

  1. Terdapat gap pemahaman yang besar terhadap produk kelapa sawit maupun kebijakan pengembangannya.
  2. Masifnya kampanye negatif terhadap kelapa sawit menimbulkan persepsi yang salah.
  3. “Kompetisi” antara minyak kelapa sawit dengan minyak rapeseed maupun sunflower.

UE dan negara-negara produsen kelapa sawit sepakat untuk terus melanjutkan diskusi yang konstruktif untuk menjembatani pemahaman kedua pihak dalam menyelesaikan isu ini. Beberapa langkah yang akan dilakukan, antara lain:

  1. Setelah Parlemen Eropa yang baru terbentuk hasil Pemilu Mei 2019, akan segera dilakukan diskusi dengan Pemerintah Indonesia terkait hal ini.
  2. Beberapa pemangku kepentingan industri kelapa sawit di UE akan membentuk wadah komunikasi terkait upaya kampanye positif kelapa sawit di UE.
  3. Para pelaku usaha dari perusahaan multinasional (MNCs) juga sepakat untuk mendukung secara penuh upaya Pemerintah RI dalam menanggapi kebijakan diskriminatif ini.

Baca Juga: Potensi Pasar Minyak Sawit di Cina: Ada Kemungkinan Permintaan Tinggi Beberapa Tahun ke Depan

Upaya diplomasi yang dilakukan secara bersama ini merupakan tindak lanjut dari pernyataan keberatan bersama yang disampaikan oleh Presiden Indonesia dan Perdana Menteri (PM) Malaysia serta Ketua DPR RI.

Di samping itu, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) dan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) juga telah menyampaikan kekecewaan dan meminta agar proses pengesahan aturan diskriminatif tersebut dapat dihentikan.