Di tengah krisis lingkungan yang kian nyata, ketimpangan sosial yang melebar, serta tekanan hidup perkotaan yang makin menyesakkan, ruang aman untuk berhenti sejenak terasa semakin dibutuhkan.
Keresahan itulah yang direspon Bestari Festival bersama PERURI lewat Road to PERURI Bestari Festival 2025: Kembali ke Akar, sebuah pengantar menuju festival utama pada 20 September 2025 di Taman Kota PERURI, Blok M, Jakarta Selatan.
Firdza Radiany, Penggagas sekaligus CEO Bestari Festival, menuturkan bahwa tahun 2025 menjadi momen istimewa bagi festival yang kini memasuki edisi ketiganya. Festival ini hadir dengan nama baru, yakni PERURI Bestari Festival, sebuah kolaborasi dengan PERURI, mengusung tema “Kembali ke Akar.”
“Kenapa sih temanya ‘kembali ke akar’? Kita kayaknya sebagai manusia Indonesia, atau sebagai manusia individu, makin ke sini makin menjauh dari akar-akar nilai yang penting. Seperti ada hal-hal yang hilang,” jelas Firdza, saat konferensi pers di Gedung PERURI, Jakarta Selatan, Selasa (9/9/2025).
Adapun nantinya, festival ini memilih Taman Kota PERURI Blok M sebagai lokasi, sebuah ruang hijau langka di tengah padatnya Jabodetabek.
“Kita semua tinggal di Jabodetabek yang jaraknya jauh sekali dengan ruang terbuka hijau. Kita jarang melihat langit biru, atau sekadar main di taman. Ternyata Taman Kota PERURI adalah salah satu aset PERURI dan kami ingin menghidupkan ruang itu kembali lewat festival ini,” tambah Firdza.
Firdza mengatakan, program yang disiapkan dalam PERURI Bestari Festival ini mencakup 8 talkshow dan fairchats bersama lebih dari 20 panelis inspiratif, 4 music & art experience, serta 3 zona utama sesuai tema akar.
“Jadi festival ini tidak hanya merayakan ide, tapi juga mencoba menghadirkan kembali rasa kebersamaan di ruang kota. Dengan semangat keberlanjutan dan kembali ke akar, saya berharap Peruri Besari Festival menjadi ruang pertemuan yang hangat bagi semua,” papar Firdza.
Ruang Aman untuk Belajar dan Terhubung
Di kesempatan yang sama, Firza Daud, Co-founder Bestari Festival, menambahkan bahwa festival ini dirancang sebagai ruang aman untuk jeda di tengah hiruk-pikuk dunia.
“Kami ingin menghadirkan isu-isu besar seperti keberlanjutan dan makna hidup dengan cara yang ringan, menyenangkan, dan mudah dipahami. Harapannya, percakapan yang lahir dari festival ini dapat bergema jauh melampaui acara itu sendiri,” ujar Firza.
Firza pun kemudian menjelaskan konsep tiga zona yang merepresentasikan filosofi akar dalam kegiatan PERURI Bestari Festival tersebut.
Pertama adalah Zona Jaga, yang melambangkan akar rambut yang menancap dalam, menghadirkan instalasi seni dan pameran barang bersejarah, termasuk mesin cetak uang pertama bangsa.
“Zona jaga ini mengajak kita untuk kembali merasakan lima indera, dan sadar apa yang membuat kita bangga sebagai warga negara,” katanya.
Kedua, Zona Serap, yang mengambil analogi akar serabut, berupa ruang diskusi dan talk show.
“It’s a safe place, ruang aman untuk kita gibah bareng sebenarnya. Tapi gak cuma gibah, kita cari solusi. Karena semua orang pasti akan kena dampaknya,” jelas Firza.
Dan ketiga adalah Zona Tumbuh, yang diibaratkan akar tunggang, berupa ruang ampiteater musik dan jamming session bersama musisi.
Bagi Firza sendiri, acara PERURI Bestari Festival ini bukan sekadar event semata. Menurutnya, untuk membangun kesadaran kolektif itu butuh movement, tak hanya one time event.
“Makanya kolaborasi dengan media dan komunitas penting, supaya ini bisa terus di-amplify,” ujar Firza.
Dan bagi Firza sendiri, tema “Kembali ke Akar” dalam gelaran PERURI Bestari Festival ini bermakna sederhana.
“Kalau menurut saya sih simpel aja, kenali diri. Itu aja dulu. Kalau kita sudah kenal diri kita, insya Allah kita tahu mau berkontribusi apa dengan kemampuan kita, dengan network kita,” tambahnya.