Growthmates, polusi udara sejak lama dikenal sebagai penyebab berbagai penyakit kronis, terutama yang berkaitan dengan jantung dan paru-paru. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, para ilmuwan mulai menaruh perhatian lebih besar pada dampaknya terhadap otak manusia.
Bukti yang terus berkembang menunjukkan bahwa paparan udara tercemar dapat memicu peradangan kronis di otak dan memengaruhi fungsi mikroglia, sel-sel yang berperan sebagai sistem pertahanan saraf.
Meski demikian, hubungan antara polusi udara dan kanker otak masih jarang mendapat sorotan. Sebuah penelitian terbaru kini mencoba mengisi kekosongan tersebut dengan hasil yang cukup mengejutkan.
Studi Besar, Temuan Mengejutkan
Penelitian besar ini melibatkan lebih dari 100.000 pria dan wanita yang tinggal di wilayah Los Angeles.
Para peneliti melacak paparan berbagai jenis polutan, mulai dari benzena, ozon, partikel PM10, hingga nitrogen oksida, selama dua dekade untuk melihat apakah ada hubungan antara polusi jangka panjang dan risiko kanker otak. Hasilnya menunjukkan bahwa beberapa polutan dapat meningkatkan risiko kanker otak ganas, khususnya pada pria.
Temuan yang paling mencolok adalah bahwa paparan benzena dan PM10 berhubungan dengan peningkatan signifikan risiko kanker otak pada pria, sementara hubungan serupa tidak ditemukan pada wanita.
Paparan benzena dikaitkan dengan rasio bahaya 3,52 pada pria, sedangkan PM10 memiliki rasio bahaya 1,80. Bahkan pada pria yang tidak pernah merokok, hubungan ini tetap kuat, menunjukkan bahwa polusi udara itu sendiri sudah cukup berbahaya.
Meskipun tinggal dekat jalan raya utama dapat meningkatkan risiko, jarak tersebut bukan faktor tunggal karena pengukuran paparan benzena regional tetap menjadi indikator yang akurat.
Dari semua peserta, sekitar setengah kasus kanker otak terjadi pada individu Latino. Ketika data dianalisis lebih lanjut, terlihat bahwa pria Latino memiliki risiko paling tinggi terkait paparan PM10, ozon, dan benzena. Menariknya, tren ini tidak ditemukan pada wanita Latino.
Peneliti memperkirakan bahwa faktor genetik, pola pekerjaan, atau paparan polusi lain yang terjadi bersamaan mungkin berperan, meski masih diperlukan penelitian tambahan untuk memastikannya.
Baca Juga: Upaya Memperkuat Skrining Kanker Serviks di Indonesia