Belum lama ini, pihak Jusuf Hamka telah melayangkan gugatan terhadap Hary Tanoesoedibjo terkait surat berharga yang diterima pada tahun 1999. Gugatan dilayangkan oleh PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP) kepada Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo atau Hary Tanoe serta PT MNC Asia Holding Tbk (sebelumnya bernama PT Bhakti Investama Tbk).
Gugatan dilayangkan lewat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) tertanggal 28 Februari 2025. CMNP sebagai emiten yang dimiliki Jusuf Hamka meminta pengadilan menyita aset milik Hary Tanoe dan PT MNC Asia Holding sebagai jaminan hukum atas dugaan perbuatan melawan hukum. CMNP merasa dirugikan karena Negotiable Certificate of Deposit (NCD) dari PT Unibank Tbk miliknya tidak dapat dicairkan. Dalam transaksi yang terjadi pada tahun 1999 tersebut, pihak Hary Tanoe mengeklaim dirinya hanya berperan sebagai perantara; hal yang dibantah oleh pihak Jusuf Hamka.
Baca Juga: Hary Tanoe Beber Modal Termahal dalam Bisnis
"Menyatakan Tergugat I (Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo) dan Tergugat II baik secara bersama-sama maupun secara sendiri-sendiri telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian bagi penggugat," demikian sebagian isi gugatan yang terdaftar dengan nomor perkara 142/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst, dikutip Sabtu (15/3/2025).
Pernyataan Pihak Jusuf Hamka
Dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), CMNP menjelaskan bahwa transaksi terkait NCD pada 1999 yang menyangkut Hary Tanoe telah menyebabkan kerugian bagi pihaknya. Tepatnya pada Mei 1999, CMNP medapatkan NCD dari Unibank senilai US$28 juta atau Rp456 miliar (asumsi kurs Rp16.297 per dolar AS).
"Atas nilai transaksi yang digugat oleh Perseroan tersebut berdampak baik pada keuangan perseroan," jelas Direktur Independen CMNP, Hasyim, dalam keterbukaan informasi di situs Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 4 Maret 2025.
CMNP menjelaskan, di tahun 1999 tersebut, Hary Tanoe menawarkan kepada pihak CMNP untuk menukarkan NCD miliknya dengan MTN (Medium Term Note) dan obligasi tahap II milik CMNP. Dalam transaksi ini, Hary Tanoe memiliki NCD atau sertifikat deposito yang diterbitkan Unibank senilai US$28 juta, sedangkan pihak CMNP memiliki MTN senilai Rp163,5 miliar dan obligasi senilai Rp189 miliar.
Sesuai kesepakatan kedua belah pihak pada 12 Mei 1999, CMNP menyerahkan MTN dan obligasinya kepada Hary Tanoe pada 18 Mei 1999. Setelahnya, Hary Tanoe menyerahkan sertifikat deposito kepada CMNP secara bertahap: obligasi senilai US$10 juta pada 27 Mei 1999 yang jatuh tempo pada 9 Mei 2002, serta NCD senilai US$18 juta pada 28 Mei 1999 yang jatuh tempo pada 10 Mei 2002.
"Hary Tanoesoedibjo-lah yang menyerahkan NCD kepada CMNP. Karena itu, NCD tersebut adalah milik Hary Tanoesoedibjo," tulis keterangan dari pihak CMNP.
Masalah muncul ketika NCD yang diterima dari Hary Tanoe tidak bisa dicairkan pada 22 Agustus 2002. Pasalnya, Unibank selaku penerbit NCD yang dipegang CMNP ditetapkan sebagai Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) pada Oktober 2001. CMNP mengaku mengalami kerugian sekitar Rp103,4 triliun atas perkara tersebut; jumlah ini dihitung dengan mempertimbangkan bunga sebesar 2 persen per bulan.
Selain itu, CMNP juga mempertanyakan keaslian NCD yang diberikan pihak Hary Tanoe. Menurut mereka, NCD tersebut dibuat tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 21/27/UPG tanggal 27 Oktober 1988 perihal Penerbitan Sertifikat Deposito oleh Bank dan Lembaga Keuangan bukan Bank di Indonesia. Dugaan itu didasarkan pada dua hal, yakni penerbitan NCD dalam mata uang dolar Amerika Serikat dan jangka waktu jatuh tempo yang berdurasi lebih dari 2 tahun.
"Dengan demikian, NCD Unibank milik Hary Tanoesoedibjo tersebut tidaklah eligible," kata pihak CMNP.
CMNP pun menegaskan bahwa NCD merupakan surat berharga yang bersifat 'atas bawa'. Artinya, siapa yang memegang surat berharga tersebut dan dapat menunjukkan serta menyerahkannya untuk diuangkan, si pemegang merupakan pemilik dari NCD tersebut sehingga mereka menolak klaim pihak Hary Tanoe yang menyebut pihaknya hanya sebagai perantara.
CMNP bahkan telah melaporkan Hary Tanoe ke Polda Metro Jaya sebelum melayangkan gugatan ke PN Jakpus, berkaitan dengan pertukaran obligsi CMNP dengan sertifikat deposito milik Hary Tanoe yang diduga palsu.
Pembelaan Pihak Hary Tanoe
Menanggapi gugatan yang dilayangkan pihak Jusuf Hamka, PT MNC Asia Holding Tbk atau MNC Group menjelaskan bahwa perannya saat itu hanyalah sebatas broker atau perantara sehingga sejak 12 Mei 1999, perusahaan tidak lagi memiliki keterlibatan. Pada 12 Mei 1999, CMNP mendapatkan NCD yang diterbitkan oleh PT Unibank Tbk dengan total nilai US$28 juta.
"Bahwa setelah transaksi terjadi, segala bentuk korespondensi dilakukan secara langsung oleh CMNP dengan Unibank, termasuk dan tidak terbatas pada konfirmasi dari akuntan publik, konfirmasi pencatatan NCD dalam laporan keuangan Unibank dan CMNP, serta berbagai bentuk konfirmasi lainnya yang pada prinsipnya menyatakan bahwa NCD diterbitkan secara sah oleh Unibank," jelas Direktur Legal MNC Asia Holding, Chris Taufik, melansir CNBC Indonesia.
Baca Juga: Kisah Hidup Jusuf Kalla, Mulai dari Pebisnis hingga Politikus Tanah Air
Namun, pada 29 Oktober 2001, sekitar tujuh bulan sebelum jatuh tempo, Unibank mengalami likuidasi dan gagal membayar NCD kepada CMNP. MNC Group menilai gugatan ini tidak tepat sasaran karena pihak yang bermasalah dalam transaksi tersebut adalah Unibank, bukan MNC Group.
Hal serupa juga ditegaskan oleh Kuasa hukum PT MNC Asia Holding, yakni Hotman Paris Hutapea. Dia menegaskan, pihak yang menerima uang dari pembayaran penerbitan surat berharga adalah Unibank, bukan Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo alias Hary Tanoe. "Intinya, Unibank sudah terima uang, bukan Hary Tanoe yang terima uang," ujarnya di Jakarta, Selasa (11/3/2025).
Menurutnya, Unibank telah menerima uang sebesar US$17,4 juta dari penerbitan zero coupon bond untuk CMNP. Sementara itu, total yang harus dibayar Unibank dalam jangka waktu tiga tahun pada 1999-2002 kepada CMNP adalah sebesar US$28. Namun, akibat krisis moneter, Unibank harus ditutup pada 2001 sehingga CMNP tidak bisa mencairkan sertifikat deposito yang bernilai US$28 juta.
"Pertanyaannya adalah, kalau bank menerima tabungan, yaitu yang 17,4 juta dolar sudah dikirimkan oleh Unibank, kemudian pada saat jatuh tempo, dia tidak bisa mencairkan. Yang salah siapa? Tentu bukan brokernya, (tapi) arranger-nya. Waktu itu kan arranger-nya adalah Bakti Investama Tbk, hanya terima komisi. Ya tidak? Jadi waktu itu 100% masuk Unibank," kata Hotman.
Dia menuturkan, CMNP sempat menggugat Unibank hingga Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ke pengadilan. Namun, upaya tersebut terhenti pada tahap peninjauan kembali (PK).
"Kalau sekarang dituduh pemalsuan, pemalsuannya di mana? Lagi pula, sebelum deposit tersebut, yang melakukan hubungan hukum untuk klarifikasi, pengecekan semua dokumennya, langsung Unibank dengan CMNP. Bahkan, tiap tahun auditor dari CMNP, yaitu Prasetyo Utomo, meminta laporan dari Unibank tentang status sertifikat deposito ini, dikatakan semuanya sah," imbuhnya.