Sepuluh tahun sudah bangsa ini kehilangan salah satu sosok ikonik dunia usaha, Bambang Mustari Sadino atau yang akrab dipanggil Bob Sadino. Pengusaha yang lahir di Tanjungkarang, Lampung, pada 9 Maret 1933 ini dikenal bukan hanya karena keberhasilannya membangun kerajaan bisnis di bidang pangan, tetapi juga karena kepribadiannya yang rendah hati, nyentrik, dan jauh dari kesan formalitas.
Wafat pada 19 Januari 2015 di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan, Bob meninggalkan duka mendalam, sekaligus warisan inspirasi yang hingga kini masih hidup di benak banyak orang. Dalam keseharian, ia lebih dikenal sebagai “Om Bob”—sapaan akrab yang menggambarkan kedekatannya dengan banyak kalangan, mulai dari karyawan, rekan bisnis, hingga masyarakat umum yang hanya mengenalnya dari layar kaca atau buku.
Kehidupan Awal dan Jiwa Mandiri
Bob lahir dari keluarga yang tergolong berkecukupan. Ayahnya seorang kepala sekolah di era Hindia-Belanda, sebuah profesi yang terhormat pada masanya. Namun, kenyamanan finansial itu tak membuat Bob menggantungkan hidup sepenuhnya pada keluarga. Ia tumbuh dengan keinginan untuk mandiri, termasuk ketika memutuskan tidak melanjutkan pendidikan tinggi.
Baca Juga: Dari Bob Sadino hingga Tomy Winata, Ini Deretan Pengusaha yang Berhasil Bangkit dari Keterpurukan
Keputusan itu sering disalahpahami sebagai bentuk antipati terhadap pendidikan formal. Padahal, Bob hanya memiliki cara berbeda dalam menimba ilmu. Ia percaya pengalaman nyata lebih berharga daripada teori.
“Belajar itu bisa dari mana saja, asal kita mau membuka diri,” begitu salah satu prinsip yang kerap ia suarakan.
Di usia 19 tahun, ketika kedua orang tuanya wafat, Bob mewarisi seluruh harta keluarga. Kekayaan itu ia gunakan untuk berkeliling dunia, hingga menetap di Belanda selama hampir sembilan tahun. Di sana, ia bekerja di perusahaan pelayaran, sekaligus bertemu dengan belahan jiwanya, Soelami Soejoed.
Pada 1967, ia pulang ke Indonesia dengan membawa dua mobil Mercedes, salah satunya ia jual untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan.
Dari Sopir hingga Kuli Bangunan
Kisah jatuh bangun Bob menjadi pengusaha tak pernah lepas dari cerita masa-masa sulit. Awalnya, ia mencoba menyewakan mobil Mercedes miliknya dan menjadi sopir sendiri. Namun, nasib berkata lain ketika mobil itu mengalami kecelakaan dan rusak parah. Tak mampu memperbaikinya, Bob beralih profesi menjadi kuli bangunan dengan upah harian Rp100.
Baca Juga: Mengenang Kwik Kian Gie: Ekonom Kritis dan Berintegritas
Masa itu menjadi periode berat dalam hidupnya. Ia sempat mengalami depresi karena tekanan ekonomi. Namun, justru dari keterpurukan itulah lahir titik balik. Seorang teman menyarankan agar ia beternak ayam negeri. Ide sederhana itu ternyata menjadi pintu masuk menuju jalan sukses.
Bob mulai menjual telur ayam negeri dari pintu ke pintu, meski pada awalnya hanya diminati ekspatriat dan orang Indonesia yang pernah tinggal di luar negeri. Lambat laun, telur ayam negeri mulai dikenal luas, bisnisnya berkembang, dan Bob melangkah lebih jauh ke usaha daging ayam serta sayuran hidroponik, sistem yang ia perkenalkan pertama kali di Indonesia.
Lahirnya Kerajaan Bisnis
- Kerja keras itu berbuah nyata. Dari sebuah garasi sederhana, lahirlah berbagai bisnis yang kemudian menjadi bagian dari Kem Group, antara lain:
- Kem Chicks, supermarket yang fokus menyediakan produk pangan impor dan lokal berkualitas.
- Kemfood, perusahaan pengolahan daging yang berkembang pesat.
- Kem Farm, bisnis agribisnis yang menekankan pada produksi sayuran segar.
- The Mansion at Kemang, unit usaha properti yang memperluas kiprahnya di dunia bisnis.
Catatan tahun 1985 menunjukkan betapa besar skala usahanya. Perusahaan Bob saat itu mampu menjual rata-rata 40–50 ton daging segar, 60–70 ton daging olahan, dan 100 ton sayuran segar setiap bulannya.
Baca Juga: Mengenang Mendiang Santosa Doellah, Maestro Batik Pendiri Batik Danar Hadi
Filosofi Hidup: Sederhana dan Nyentrik
Meski sukses, gaya hidup Bob jauh dari kesan mewah. Ia hampir selalu tampil dengan kemeja lengan pendek dan celana pendek, bahkan ketika bertemu tokoh penting atau menghadiri acara resmi. Gaya itu bukan sekadar pilihan pakaian, melainkan simbol dari kesederhanaan dan kenyamanan yang ia junjung tinggi.
Aktor Ringgo Agus Rahman pernah menyebut, celana pendek itu adalah cerminan jiwa Bob yang apa adanya. Bahkan, suatu ketika Bob hadir di gedung DPR dengan celana pendek, membuat staf protokoler sempat menegurnya. Namun, bagi Bob, kenyamanan lebih penting ketimbang formalitas semu.
Inspirasi untuk Generasi Muda
Lebih dari sekadar pengusaha, Bob adalah inspirator. Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi Lukman, mengenangnya sebagai sosok yang mendorong banyak orang untuk berani terjun ke dunia wirausaha. Bahkan, sejumlah karyawan Bob kemudian sukses mendirikan usaha sendiri karena termotivasi oleh dorongan darinya.
Baca Juga: Mengenang Dasuki Angkosubroto, Sosok Pendiri Konglomerasi Gunung Sewu
Bob juga gemar membagikan pengalamannya lewat buku. Dua karyanya yang populer adalah Mereka Bilang Saya Gila! dan Belajar Goblok dari Bob Sadino. Dalam buku-buku itu, ia menekankan pentingnya aksi ketimbang teori berlebihan. Salah satu ungkapan terkenalnya adalah, “Pria bodoh mungkin hanya punya satu ide, tapi dia akan melakukannya. Sementara pria pintar punya banyak ide, namun tak satupun jadi kenyataan.”
Sosok Keluarga dan Sahabat
Bagi orang terdekat, Bob bukan sekadar pengusaha, melainkan juga pribadi yang penuh kasih. Sopir pribadinya, Sugiono, bahkan mengaku menganggap Bob sebagai keluarga. Mereka sering makan bersama, bepergian ke luar kota, hingga tidur sekamar.
“Saya diminta untuk tetap kuat walaupun mendapat kesulitan dalam hidup,” kenang Sugiono tentang pesan sederhana majikannya.
Kedekatan Bob juga melampaui lingkaran bisnis. Politikus Golkar sekaligus pengusaha senior, Mohamad Suleman Hidayat, menyebut Bob dekat dengan Presiden Soeharto. Keduanya kerap berbagi hobi berkebun, dan ada foto yang memperlihatkan Bob bercelana pendek tengah berbincang santai dengan Soeharto dan istrinya, Tien Soeharto.
Warisan yang Tak Pernah Hilang
Kesehatan Bob menurun setelah istrinya wafat pada 2014. Setahun kemudian, ia menyusul sang istri. Namun, warisan semangatnya tetap hidup. Filosofi sederhananya—untuk berani mencoba, pantang menyerah, dan hidup apa adanya—terus menginspirasi banyak generasi muda Indonesia.
Mengenang sepuluh tahun kepergiannya, Bob Sadino bukan hanya tokoh bisnis dengan catatan sukses, tetapi juga manusia yang mengajarkan arti kejujuran, kesederhanaan, dan keberanian mengambil risiko. Warisannya bukan hanya berupa perusahaan besar, melainkan juga nilai kehidupan yang relevan sepanjang masa.