Pondasi Ketahanan Ciputra dalam Krisis
Diakui Ciputra, krisis moneter 1998 menjadi ujian paling berat dalam hidupnya. Kejatuhan ekonomi bukan hanya mengguncang bisnis, tetapi juga menggoyahkan kesehatan fisik dan mental seluruh keluarga.
Namun, dari reruntuhan itu, justru lahir kekuatan baru. Yakni, kekuatan yang datang dari iman, keluarga, dan tangan-tangan tak terlihat yang diutus untuk membantu.
“Kejadian-kejadian itu membuat hati saya berpengharapan kembali. Jiwa saya dihangatkan. Pikiran saya dijernihkan. Yah, Tuhan tidak akan memberikan cobaan pada umat-Nya melebihi batas kemampuannya. Saya yakin akan ada cahaya setelah badai. Kami harus kuat melewati semua ini,” ungkapnya.
Setiap malam Ciputra dan keluarganya pun berdoa. Setiap siang hari ia pun rapat. Hari-harinya pun diisi dengan strategi untuk menyelesaikan tumpukan utang yang nyaris melumpuhkan. Tidak ada ruang untuk lari, apalagi menyalahkan. Mereka memilih bertahan dengan kepala tegak.
“Kami sabar menyusuri perjalanan panjang menghadapi beban pembayaran utang dengan segala strategi. Yang penting, semua dilakukan dengan niat dan cara yang baik. Pantang bagi kami menghindar apalagi lari,” bebernya.
Diakui Ciputra, dalam kondisi yang lemah secara ekonomi, dirinya justru merasa imannya tumbuh. Ia melihat anak-anak, menantu, dan para direksi berdiri bersama, saling memeluk dalam ikatan perjuangan. Mereka rapuh, tapi mereka tidak runtuh.
“Pada dasarnya kami telah menjadi lemah saat itu. Tapi karena kami tidak mengendurkan pelukan satu dengan lainnya, kami tetap kuat,” tukasnya,
Dan, lanjut Ciputra, doa-doa itu, perlahan, mulai membuahkan hasil. Seketika ada seseorang datang dari Bank BRI, melalui tangan sahabat lamanya, yakni Djokosantoso Moeljono yang saat itu menjabat Direktur Utama BRI.
Djokosantoso memperjuangkan pinjaman bagi Ciputra Group di tengah suasana yang serba sulit. Sebuah keputusan yang tak hanya berani, tapi juga penuh kepercayaan.
“Saya tahu, Djokosantoso berjuang keras di internal BRI. Ia rela dan mau melakukan itu karena ia sangat yakin bahwa saya masih bisa bangkit lagi, dan saya memiliki reputasi positif di dalam industri yang saya geluti. Bantuan BRI sangat membantu kami. Memberi oksigen di saat kami sudah sesak dan kepayahan,” tutur Ciputra.
Bahkan ketika Ciputra mencoba memberinya hadiah sebagai ungkapan terima kasih, Djokosantoso menolaknya. Bantuan itu datang murni dari keyakinan dan persahabatan.
“Ia bukan saja seorang kolega. Ia sahabat sejati. Sungguh, ia tidak mau menerima apa pun. Benar-benar tanpa pamrih. . Sampai sekarang hubungan kami dengan Bank BRI terus berlanjut dengan baik dan semua kewajiban kami dapat dipenuhi,” kenang Ciputra.
Selain itu, lanjut Ciputra, usaha para direksi yang dipimpin menantunya, Harun, juga membuahkan hasil. Negosiasi dengan bank membawa keringanan, beberapa utang diselesaikan dengan kavling tanah, dan perlahan, kepercayaan mulai tumbuh kembali.
Menurut Ciputra, meski mereka kehilangan beberapa proyek, tapi reputasi Metropolitan Grouptidak hilang. Mereka bahkan harus pindah kantor karena tak sanggup membayar sewa. Namun satu hal yang tidak pernah mereka hilangkan adalah reputasi dan kepercayaan.
“Bagi kami, lebih baik kehilangan proyek daripada kehilangan kepercayaan dari bank, nasabah, masyarakat, serta karyawan,” tegas Ciputra.
Dan, perjalanan itu pun menyadarkan Ciputra bahwa kebanggaan sejati bukan berasal dari harta atau kejayaan duniawi, melainkan dari kemampuan untuk menghargai waktu, menjaga integritas, dan tetap setia pada Tuhan, bahkan dalam badai paling dahsyat sekalipun.
“Kebanggaan saya lebih karena saya telah menghargai karunia yang Tuhan berikan. Saya telah menggunakan waktu sebaik-baiknya, kesempatan, dan juga kesehatan untuk menciptakan prestasi. Namun, di atas segalanya, Tuhanlah yang menentukan semua yang terjadi,” tandas Ciputra.
Baca Juga: Kisah Spiritual dan Jejak Iman yang Tersembunyi dalam Hidup Ciputra