Iman, Doa, dan Kebaikan Orang Asing

Di balik nama besar Ciputra Group dan warisan puluhan proyek prestisius yang mengubah wajah kota-kota besar di Indonesia, tersimpan kisah jatuh-bangun yang begitu manusiawi, seperti kisah tentang kelelahan, keputusasaan, dan kebangkitan.

Saat itu, Ciputra merasa kehidupannya runtuh. Proyek-proyek macet. Aset menyusut. Kepercayaan publik terkikis. Namun, yang lebih menyakitkan bukan sekadar angka-angka dan neraca keuangan, melainkan tekanan batin yang nyaris tak tertanggungkan.

"Pada hari-hari ketika fisik dan batin kami begitu kepayahan itu, kesadaran yang sangat dalam menyentuh dinding kalbu saya. Kesehatan tubuh saya merosot. Bahkan saya sempat sulit berjalan. Tapi, saya menemukan sesuatu yang mencerahkan. Iman. Hati saya seperti disikat bersih, dibeningkan, dan dikilaukan. Saya bisa merasakan tangan-Nya di saat saya tak mampu berbuat apa-apa,” ungkapnya.

Dari titik nadir itulah, lahir kekuatan baru. Dalam tubuh yang lelah dan batin yang koyak, Ciputra menemukan semangat yang selama ini terpendam. Ia sadar, meskipun kekayaan materialnya tergerus habis, nilai dirinya sebagai manusia tidak pernah hilang.

“Ciputra! Kekayaanmu mungkin minus. Di bawah nol. Utangmu banyak. Tapi ingat. Dirimu adalah sesuatu yang bernilai. Seorang Ciputra dengan semangatnya tidak akan pernah menjadi minus. Kau bisa bangkit. Bisa!”

Dibeberkannya, titik balik itu tidak datang dari solusi instan, tetapi dari kepedulian yang tulus. Menurutnya, banyak orang datang mendoakan dirinya. Bahkan, seorang biarawati dan asistennya yang tidak dikenalnya datang ke kantornya, memberikan doa dan sebuah buku berjudul “Manajemen ala Yesus.”

“Saya harus tetap kuat. Buku yang ia berikan saya baca dan memberi saya kekuatan. Ajaib. Buku itu seperti mengalirkan kekuatan yang dahsyat. Setiap hari, saya membaca buku itu dan nyali saya tumbuh sedikit demi sedikit. Harapan hidup lagi. Ketegaran terbentuk lagi. Dan yang terpenting, diri saya dialiri perasaan damai dan tenteram. Padahal saat itu, persoalan masih mencekik!,” paparnya.

Selepas itu, kata Ciputra, ada satu peristiwa lain yang sangat membekas di hidupnya, yakni saat Ciputra kedatangan seorang pria asing ke kantornya. Pria tersebut memperkenalkan diri sebagai Tonny Rachmat. Tanpa banyak bicara, ia menyerahkan sebuah amplop yang berisi uang sepuluh juta rupiah, jumlah yang sangat berarti di tengah keterpurukan Ciputra.

“Pak Ciputra, saya mendengar tentang nasib perusahaan Bapak yang terpuruk. Saya adalah pengagum Bapak. Ini, saya hanya bisa membantu sebesar ini. Terimalah. Barangkali Bapak membutuhkannya,” ucap pria itu, yang kemudian diketahui adalah seorang pendeta.

Ciputra mengenang momen itu dengan mata berkaca-kaca. Di tengah badai yang belum mereda, uluran tangan dan ketulusan hati dari orang-orang tak dikenal menjadi lentera kecil yang menerangi jalannya. Dan dari situ, harapan mulai bertunas kembali.

“Saat itu saya terpaku. Laki-laki itu lalu berpamitan. Saya menatap uang lembaran di dalam amplop. Mata saya berkaca-kaca. Uang sebanyak itu besar artinya buat saya karena utang saya sudah menghancurkan kondisi finansial kami. Saya tidak akan melupakannya,” ungkapnya.

Baca Juga: Pergulatan Ciputra Melawan Krismon