Pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) terus memperkuat langkah perlindungan dan penegakan hukum bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban jaringan online scam lintas negara. Kasus ini menjadi perhatian serius setelah lebih dari 10.000 WNI dilaporkan terlibat dalam praktik penipuan daring di berbagai negara, terutama di kawasan Asia Tenggara.
Dalam konferensi pers di Jakarta, Pelaksana Tugas (PLT) Direktur Perlindungan WNI dan BHI, Henny Hamidah, menjelaskan bahwa tidak semua WNI yang bekerja di perusahaan penipuan luar negeri tergolong korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Sebagian justru berangkat secara sukarela karena tergiur tawaran gaji besar tanpa memeriksa keabsahan pekerjaan tersebut.
“Tidak semuanya korban TPPO. Ada yang berangkat karena mengejar gaji tinggi, padahal tahu pekerjaan itu melibatkan penipuan,” kata Henny Hamidah.
Kemenlu mencatat, sebanyak 599 WNI telah dipulangkan dari kawasan Myawaddy, Myanmar, setelah diketahui bekerja di kompleks perusahaan online scam. Dari hasil penyelidikan, beberapa di antaranya bahkan berperan sebagai perekrut sesama WNI. Empat orang kini ditahan karena diduga melakukan kekerasan terhadap rekan senegara.
“Negara hadir bukan hanya untuk melindungi, tapi juga menegakkan hukum. Keduanya harus berjalan beriringan,” ujar Henny.
Menurutnya, modus yang digunakan jaringan penipuan internasional ini sangat sistematis. Para korban dijanjikan pekerjaan sebagai customer service atau marketing online dengan gaji antara 1.000 hingga 1.200 dolar AS per bulan. Mereka diberi tiket keberangkatan tanpa kontrak kerja resmi, bahkan diajari cara berbohong saat pemeriksaan imigrasi. Setibanya di luar negeri, korban dibawa ke kompleks penipuan daring dan dipaksa membuat akun palsu untuk menipu korban lain dengan pendekatan asmara maupun bisnis.
“Begitu uang korban ditransfer, akun langsung dihapus dan komunikasi terputus total. Modusnya serupa di berbagai negara,” jelas Henny Hamidah.
Modus Lintas Negara dan Fenomena Korban Kembali Terjebak
Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler Kemenlu, Andy Rachmianto, menuturkan bahwa pola kejahatan serupa ditemukan di sepuluh negara, tujuh di antaranya di Asia Tenggara dan tiga lainnya di Afrika Selatan, Belarus, serta Yordania Barat. Yang mengkhawatirkan, sebagian korban yang telah dipulangkan ke Indonesia justru kembali ke luar negeri dan terjerat kasus serupa karena tekanan ekonomi dan jeratan utang jaringan pelaku.
“Kami menemukan kasus warga yang sudah dua kali dipulangkan dari Myanmar. Dalam empat bulan, dia kembali lagi ke sana. Ini menunjukkan faktor ekonomi dan tekanan jaringan masih sangat kuat,” ungkap Andy Rachmianto.
Ia menyebut fenomena tersebut sebagai re-trafficking, di mana korban kembali dijerat jaringan pelaku dengan ancaman, bujukan, atau utang yang menumpuk. Karena itu, upaya perlindungan perlu diimbangi dengan edukasi dan pengawasan sosial dari lingkaran terdekat korban.
Kemenlu mencatat adanya perubahan besar dalam profil korban TPPO. Jika sebelumnya didominasi oleh pekerja rumah tangga berpendidikan rendah, kini sebagian besar korban berasal dari Generasi Z berusia 18–35 tahun, dengan latar belakang pendidikan tinggi bahkan bergelar magister.
“Kami pernah menangani korban bergelar S2. Mereka dari kelompok ekonomi menengah, aktif di media sosial, dan mudah tergoda tawaran kerja cepat bergaji besar,” ujar Andy Rachmianto.
Ia menilai, gaya hidup digital dan budaya flexing di media sosial turut mendorong meningkatnya jumlah korban muda. Banyak dari mereka tergoda bekerja di luar negeri demi gengsi, tanpa memeriksa legalitas dokumen atau keabsahan perusahaan.
“Bagi sebagian, bekerja di luar negeri tampak keren. Padahal tanpa visa kerja dan kontrak resmi, itu bukan prestise, melainkan risiko besar,” lanjut Andy.
Keluarga dan Media Jadi Mitra Kunci Pencegahan
Kemenlu juga menilai bahwa pencegahan TPPO tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga keluarga dan media. Menurut Henny Hamidah, keluarga harus berperan aktif memastikan anggota keluarganya berangkat bekerja melalui jalur resmi dan memiliki dokumen sah.
“Banyak keluarga bahkan tidak tahu anaknya berangkat ke mana atau bekerja di mana. Padahal keluarga adalah pelindung pertama,” ujarnya.
Henny juga menyampaikan apresiasi kepada media yang terus aktif menyebarkan informasi dan edukasi publik tentang perlindungan WNI.
“Saya harap kerja sama teman-teman media tetap terjalin dengan baik. Tahun ini dan tahun depan, isu perlindungan WNI tetap menjadi prioritas bersama,” ucap Henny.
Konferensi pers diakhiri dengan suasana hangat. Para jurnalis berbincang santai sambil menikmati hidangan pagi, membahas langkah pemerintah memperkuat diplomasi perlindungan WNI lintas negara. Dalam penutupan, Andy Rachmianto menegaskan komitmen pemerintah bahwa negara tidak akan pernah absen dari warganya di luar negeri.
“Kami ingin setiap WNI di luar negeri tahu bahwa negara ada di belakang mereka. Perlindungan harus berjalan seiring dengan penegakan hukum dan itu komitmen kami,” tegas Andy Rachmianto.