Mengemil atau mengonsumsi makan ringan di luar rutinitas makan besar merupakan salah satu kegiatan yang sudah menjadi tradisi di Indonesia.

Kegiatan ini sudah dilakukan turun temurun sejak dulu kala, kebiasaan ini menjadi sangat lekat dengan orang-orang di negara ini sebab mereka dikenal sebagai orang dengan tingkat sosialisasi yang sangat tinggi. Kegiatan ngemil bisa dilakukan kapan saja, entah sedang sendiri atau sedang berkumpul. 

Sayangnya di era modern ini budaya mengemil sudah mengalami pergeseran signifikan. Masyarakat sekarang lebih suka mengonsumsi jenis cemilan instan dan kemasan yang justru membahayakan kesehatan. Bahkan  masyarakat sekarang justru candu pada cemilan tak sehat yang tinggi gula, garam dan lemak dan parahnya lagi kebiasaan ini diturunkan pada anak-anak mereka.

Baca Juga: Cemilan Berbahaya Intai Anak-anak, Program Makan Bergizi Prabowo-Gibran Diharapkan Jadi Solusi

Hal ini kontras dengan budaya mengemil orang-orang dulu, dimana cemilan mereka berasal dari sumber makanan organik yang tentu saja sarat gizi dan menyehatkan seperti singkong atau ubi rebus.

Data dari Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-bangsa (UNICEF) saat ini lebih dari 50 persen anak Indonesia usia 12 sampai 23 bulan mengkonsumsi minuman berpemanis seperti, jus kemasan, dan juga teh kemasan. Kemudian lebih dari 50 persen bayi usia 6 sampai 11 bulan, dan lebih dari 80 persen anak usia 12 sampai 23 bulan diperkenalkan dengan camilan manis, asin, atau gurih

“Anak-anak sekarang ngemil ya udah ganti, dengan apa, cilok, kemudian ciki dan snack, dan lain-lain,” kata  Ketua Bidang Advokasi Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (Kopmas) Yuli Supriati Kamis (23/10/2024).

Budaya mengonsumsi camilan tak sehat tak hanya ditemukan pada masyarakat komunal di pinggiran kota-kota besar macam Jakarta, namun hal ini juga sudah terjadi di tengah masyarakat pedesaan. 

Penyebab utamanya adalah kurangnya literasi gizi dan minimnya kesadaran hidup sehat, selain itu pola asuh anak juga turut serta berperan besar, terutama pada anak-anak yang tak diasuh oleh orang tuanya karena kesibukan bekerja.

Baca Juga: Pandangan Uni Lubis terkait Nasib Demokrasi dan Kebebasan Pers di Era Prabowo Subianto

“Memang banyak sekali masyarakat kita yang bukan cuma bapaknya aja yang kerja, ibunya juga kerja, akhirnya anak-anaknya ini diasuh  sama neneknya, tantenya, tetangganya, gitu kan. Jadi, pola asuhnya itu diserahkan ke orang lain selain ibunya dan sayangnya kadang-kadang ini berantakan. Kadang-kadang anaknya baru umur 6 sampai 7 bulan, itu mereka sudah jajan gitu, diperkenalkan makanan-makanan yang tinggi gula, garam, dan lemak,” ucapnya.

Kurangnya literasi gizi membuat masyarakat terjebak dalam paradigma yang salah, di beberapa daerah memberi uang jajan pada anak sudah dianggap tradisi, sayangnya orang tua justru lepas kendali dan tak bisa mengontrol jenis jenis jajan yang dikonsumsi anak-anak mereka. Padahal jajan yang sehat adalah jajan yang dibikin sendiri di rumah, itu jauh lebih higienis.

“Kemarin juga, saya baru habis dari Kalimantan, itu di Banjarmasin, itu ada satu kampung, itu rumahnya sih memang juga masih rumah apung ya, itu menjadi tradisi jajan buat anak-anak, saya kaget banget loh, jadi dia justru malu kalau anaknya nggak jajan, gitu loh,” ucapnya.

Sulit Menjangkau Makan Sehat

Kebiasaan mengonsumsi camilan tak organik tidak hanya disebabkan oleh minimnya literasi gizi dan beberapa faktor yang disebutkan di atas. Dalam beberapa temuan, masyarakat terpaksa mengonsumsi cemilan tersebut lantaran sukar menjangkau makanan-makan sehat yang kaya protein dan gizi.

Camilan sehat kerap kali dianggap mahal, di sisi lain cemilan berbahaya yang tinggi kadar gula, garam dan lemak serta serta berpengawet justru laris manis karena dijual bebas dengan harga yang jauh lebih ekonomis. Imbasnya banyak anak-anak malah keracunan makanan, dan yang lebih fatal lagi cemilan tidak sehat ini berisiko memicu timbulnya beragam penyakit di masa depan.

Baca Juga: Menyelamatkan Kelas Menengah di Tengah Mimpi Ekonomi 8% Pemerintahan Prabowo-Gibran

“Makanan-makanan yang memang menurut kita sehat, itu kayaknya nggak kejangkau. Jadi masyarakat kita tuh banyak banget dijajari makanan-makanan 3P ini (pemanis pewarna, dan pengawet) Kebiasaan jajan untuk konsumsi snack enak ini, seringkali tidak diawasi sehingga menjadi terbiasa mengkonsumsi unhealthy snack ini,” kata Yuli.

Over Klaim Iklan Televisi 

Kecenderungan anak-anak mengonsumsi camilan tak sehat juga didorong oleh tayangan iklan di televisi yang over kalim, padahal produk cemilan yang ditayangkan belum tentu sehat dan kaya gizi sesuai klaim mereka.

Iklan yang over klaim itu diperparah dengan desain kemasan camilan yang menarik perhatian anak-anak sehingga mereka dengan cepat terdoktrin.

Di sini Peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sangat dibutuhkan, lembaga ini diminta tak hanya sibuk mengurus film, namun masalah iklan yang over klaim juga mesti ditindaklanjuti untuk menjaga masa depan anak-anak bangsa ini.

“Ada biskuit yang bahkan bisa bikin kuat anak. Atau iklan permen susu, saya tidak menyebut merek yang mengatakan “permen ini mengandung satu gelas susu” aduh kliennya tuh hebat banget,” ujar Yuli.

Iklan camilan dengan narasi berlebihan itu dinilai sudah sangat menyesatkan Gara-gara iklan-iklan over klaim itu masyarakat seperti kehilangan filter memilih jajan bagi anak-anak mereka. Seharusnya iklan itu menjelaskan semua kandungan yang ada dalam produk tersebut. 

“Jadi kalau saya kalau nonton iklan makanan-makanan anak, luar biasa ya, tapi kok nggak apa-apa gitu ya. Apakah emang jadi tabu nih kejujuran, apa tak boleh menyampaikan kepada masyarakat tentang jajanan anak-anak ini sebenarnya kandungannya tuh ya tinggi gula gitu loh,” tutur Yuli.

Keterlibatan Pemerintah

Untuk menanggulangi masalah camilan berbahaya ini pemerintah diharapkan turut serta mengambil bagian misalnya dengan menggencarkan sosialisasi bahaya cemilan berpengawet  serta menjelaskan kepada masyarakat soal dampak jangka panjang cemilan berbahaya.

Sosialisasi itu diharapkan dapat dibarengi dengan aksi nyata dari pemerintah baik pemerintah pusat dan daerah untuk mengeluarkan regulasi pendukung, misalnya mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) yang melarang peredaran cemilan berbahan pengawet sebagaimana saat beberapa Pemda mengeluarkan larangan peredaran minuman keras untuk dijual bebas di supermarket.

Baca Juga: PDIP Minta Prabowo Fokus Berantas Kemiskinan yang Hanya Turun 1,93 Persen di Era Jokowi

“Kemudian peningkatan aksi pemerintah untuk melakukan sosialisasi, edukasi untuk masyarakat,” ucapnya.

Yuli mengatakan, pemerintahan Indonesia bisa mencontoh Pemerintah Singapura yang selektif terhadap peredaran camilan berbahan pengawet dan berbahaya.

“Kita cuma mau mengintip aja sebenarnya, kita punya negara tetangga, Singapura ya, dia punya regulasi multigrade, jadi mengelompokkan minuman sehat berdasarkan level abjad A hingga D. Jadi dia ada kelompok minuman, kalau C dan D itu mengandung banyak gula dan sehingga masyarakat bisa dihimbau untuk membatasi konsumsinya,” tuntasnya