Salah satu tantangan yang harus segera diselesaikan Pemerintahan Prabowo-Gibran usai resmi dilantik adalah menyelamatkan kelas menengah di Indonesia. Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut yang mengindikasikan lemahnya daya beli masyarakat. Data BPS juga menunjukkan bahwa jumlah kelas menengah terus menurun hingga 10 juta dalam 5 tahun terakhir.
Deflasi berturut-tutut selama tahun 2024 pertama kali terjadi pada bulan Mei sebesar 0,03% month to month. Di bulan Juni, deflasi menyentuh angka 0,08% dan 0,18% di bulan Juli. Sempat membaik di bulan Agustus dengan mencetak angka 0,03%, deflasi di Indonesia kembali memburuk di bulan September yang menyentuh angka 0,12%.
Baca Juga: Suara Kelas Menengah: Tolak Kebijakan PPN 12%
"Karenanya, hal pertama yang harus dilakukan oleh kabinet baru Prabowo-Gibran adalah memulihkan daya beli masyarakat yang anjlok beberapa waktu terakhir. Kelas menengah juga merupakan pilar ekonomi suatu negara," ujar Yuswohady, Managing Partner Inventure, dalam Press Conference Indonesia Industry Outlook 2025, Selasa (22/10/2024).
Yuswo menilai penting bagi Kabinet Merah Putih untuk fokus memperbaiki daya beli masyarakat yang menurun dan turunnya kelas menengah di Indonesia. Apalagi, konsumsi rumah tangga merupakan salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Prabowo menargetkan, ekonomi Tanah Air bisa menyentuh angka 8% di bawah pemerintahannya.
Dalam riset terbaru yang dilakukan Inventure, sebanyak 51% kelas menengah merasa tidak mengalami penurunan daya beli, sedangkan 49% lainnya merasa adanya penurunan daya beli yang signifikan.
Lebih jauh, riset yang diselenggarakan oleh Inventure dengan melibatkan 450 total responden ini juga mengungkap lebih dalam tentang kelas menengah yang mengalami penurunan daya beli. Dari angka 49% tadi, terbagi ke dalam dua kelompok: kelompok aspiring middle class dan middle class. Sebanyak 67% responden dari kelompok aspiring middle class melaporkan adanya penurunan daya beli, sedangkan untuk middle class sebesar 47%.
"Mereka merasa, tiga faktor utama yang membuat daya beli mereka turun adalah kenaikan harga kebutuhan pokok (85%), mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan (52%), serta pendapatan yang stagnan (45%)," jelasnya.
Senada dengan Yuswohady, ekonom senior Dr. Aviliani mengungkapkan, pemerintahan yang baru harus fokus memberikan insentif pada pelaku usaha, khususnya UMKM, untuk menjaga daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah agar kembali normal. "Ekonomi Indonesia ditopang oleh sektor konsumsi. Ketika daya beli melemah, ekonomi akan bergejolak," pungkasnya.