Edukasi dari Proyek Kecil Menuju Visi Besar

Dibeberkan Ciputra, meski saat itu proyek yang ia kerjakan tidak banyak, semangat dan standar yang dipegang oleh dia dan timnya justru luar biasa tinggi.

"Untuk struktur, tidak ada kata hemat. Kami memastikan bangunan yang kami buat kokoh dan tahan sampai puluhan tahun, bahkan mungkin ratusan tahun," ujar Ciputra.

Dalam setiap proyek, kata dia, tak peduli besar atau kecil, kualitas adalah harga mati. Ciputra belajar langsung dari lapangan, seperti tentang teknik konstruksi, manajemen waktu, hingga menghadapi potensi kecurangan di tingkat pekerja.

Dan, salah satu pengalaman berharga yang ia temui adalah praktik nakal seperti mengubah perbandingan adukan semen dan pasir demi keuntungan pribadi.

"Saya menjadi tahu kecurangan atau kenakalan yang biasa dilakukan pekerja di lapangan. Mengubah rumus adonan semen dan pasir agar bisa mengutip uang dari sana, dan sebagainya,” terang Ciputra.

Dari pengalaman ini, Ciputra bukan hanya belajar cara menghindari kesalahan, tetapi juga merumuskan pendekatan pembangunan yang efisien dan berkualitas, yakni hasil bangunan yang estetis, struktur yang kuat, fungsi maksimal, dan bujet sehemat mungkin.

"Hasilnya, bangunan yang apik, struktur berkualitas tinggi, daya fungsi yang tinggi, dan bujet yang paling ekonomis. Itulah ciri yang kami pertahankan dan akan terus kami lakukan,” tuturnya.

Namun, tantangan besar lainnya datang bukan dari dalam, melainkan dari persepsi masyarakat. Di masa itu, kata dia, jasa konsultan arsitek dan kontraktor belum dikenal luas. Banyak orang masih berpikir bahwa membangun rumah cukup dengan menyewa mandor, tanpa perlu bantuan profesional.

"Tidak sekali dua kali kami mendapatkan komentar seperti ini: 'Buat apa bayar konsultan untuk membangun rumah? Pakai mandor juga cukup’,” cerita dia.

Bahkan, tak jarang bangunan perkantoran pun didirikan tanpa pendampingan arsitek atau kontraktor profesional. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi Ciputra dan rekan-rekannya. Namun alih-alih menyerah, mereka memilih jalan edukasi.

"Kami giat mengedukasi soal ini. Bahwa membangun dengan bantuan jasa ahli akan jauh lebih menjamin hasil yang baik,” paparnya.

Saat itu, lanjut Ciputra, dirinya dan dua temannya itu memperkenalkan pentingnya peran konsultan dan kontraktor dalam pembangunan. Edukasi ini lambat laun mengubah pandangan masyarakat. Profesi mereka yang sebelumnya dianggap mahal dan tidak perlu, kini mulai dipahami sebagai bagian penting dari proses pembangunan yang profesional dan efisien.

"Saat itu banyak dari mereka mengernyitkan dahi saat mendengar biayanya. Bagi mereka, konsultan itu tidak perlu, apalagi kalau harus membayar mahal. Sekali lagi, ini tantangan,” beber Ciputra.

Baca Juga: Tentang Ciputra dan Bandung: Perjuangan Hidup Menuntaskan Studi di ITB

Proyek Pertama yang Mengguncang

Setiap pengusaha hebat memiliki momen titik balik, sebuah proyek atau kesempatan yang mengubah arah perjalanan mereka selamanya.

Bagi Ciputra dan timnya, momen itu datang ketika mereka mendapatkan kepercayaan untuk membangun gedung kantor lima lantai di Kutaraja, Aceh, yakni sebuah proyek yang tak hanya menantang kapasitas teknis, tetapi juga menguji semangat dan keberanian mereka sebagai tim muda yang penuh idealisme.

Sebelumnya, mereka hanya menangani proyek-proyek kecil seperti renovasi rumah dan bangunan sederhana. Namun, kerja keras, dedikasi, dan standar tinggi yang mereka pertahankan membuahkan kepercayaan. Ismail, salah satu anggota tim, mengambil inisiatif untuk memasarkan perusahaan mereka ke Aceh, tanah kelahirannya.

"Kami sangat bersemangat. Setelah proyek-proyek kecil, Ismail mulai percaya diri memasarkan perusahaan kami ke daerahnya, Aceh," kenang Ciputra.

Keberanian tersebut pun berbuah manis. Mereka berhasil mendapatkan proyek besar, yaitu pembangunan kantor Bank of Sumatera di Kutaraja. Gedung ini direncanakan menjadi bangunan tertinggi dan termewah di wilayah tersebut, sebuah tonggak sejarah pembangunan kota.

"Wah, kami benar-benar tercengang dan merasa sangat terhormat! Sempat ada rasa tak percaya, tapi itu benar adanya,” ujar Ciputra.

Dikatakan Ciputra, proyek ini bukan proyek biasa. Pemiliknya adalah para pedagang besar dari Aceh, dengan Presiden Komisarisnya adalah Pak Anwar, paman dari salah satu rekan mereka, Sofyan. Gedung lima lantai ini bukan hanya akan menjadi ikon arsitektur kota, tapi juga ujian terbesar mereka sejauh itu.

"Jangan sia-siakan kesempatan emas ini. Jika sukses menyelesaikan proyek ini, kita bisa dipercaya menangani proyek besar lainnya,” tutur Ciputra seraya menirukan perkataan Sofyan kepada timnya kala itu.

Semangat pun membuncah. Siang malam mereka terbenam dalam proses kreatif dan teknis. Mendesain, menghitung ulang bujet, menyesuaikan spesifikasi, dan menyiapkan setiap aspek konstruksi. Tidak ada waktu untuk bersantai. Bagi mereka, ini bukan hanya proyek, tapi ini adalah pintu menuju masa depan.

"Proyek ini menguras gairah dan semangat kami. Sampai larut malam kami bekerja membuat desain, mengutak-atik budget, dan mengurus hal-hal detail," ujar Ciputra.

Setiap hari mereka berdiskusi penuh antusiasme, membayangkan saat mereka akhirnya berdiri memimpin para pekerja di lapangan. Rasa lapar akan tantangan dan kerinduan terhadap proyek nyata menyatu dalam satu tekad untuk membuktikan bahwa mereka layak dipercaya, bahkan untuk proyek sebesar ini.

"Kami sangat tak sabar! Rasanya ingin cepat-cepat memimpin para pekerja untuk segera merealisasikan bangunan. Kami rindu proyek!,” tegas Ciputra.

Baca Juga: Kisah Perantauan, Persahabatan, dan Awal Mula Mimpi Besar Ir. Ciputra di ITB