Setiap kesuksesan besar selalu memiliki kisah awal yang sederhana bahkan disertai kegetiran. Begitu pula perjalanan Ir. Ciputra, sosok di balik berdirinya Ciputra Group, yang dimulai bukan dari ruang rapat mewah atau kantor pusat nan megah, melainkan dari sebuah garasi kecil yang sunyi dan dingin.
Dalam buku biografinya yang bertajuk The Passion of My Life karya Alberthiene Endah, maestro properti Indonesia ini pun menceritakan tentang kisah perjuangannya dahulu sebagai mahasiswa arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB), dimana ia bersama dua rekannya memberanikan diri mendirikan konsultan arsitektur sendiri.
Dikatakan Ciputra, impian mereka mulia dan penuh semangat muda menangani proyek-proyek besar bahkan sebelum lulus kuliah. Namun, realitas tak seindah bayangan.
"Itulah masa awal saya belajar marketing. Mudahkah? Sama sekali tidak. Benar-benar sulit! Tak semudah yang kami kira," kenang Ir. Ciputra, sebagaimana dikutip Olenka, Selasa (24/6/2025).
Bayangan mereka akan datangnya proyek dalam hitungan hari, pupus sudah. Dua bulan berlalu tanpa satu pun klien yang datang. Garasi yang dijadikan kantor tetap sepi, tanpa dering telepon, tanpa agenda. Namun, di sinilah karakter dan komitmen diuji.
Ciputra dan temannya memilih untuk tetap datang setiap hari, sebelum atau setelah kuliah. Meski tak ada pekerjaan, mereka tetap duduk bersama, mengerjakan tugas kuliah, berdiskusi, saling menyemangati, bahkan sesekali tertidur di kantor itu.
"Kami bertahan untuk tetap disiplin berada di garasi itu. Walau tak ada pekerjaan, kami harus berkumpul, berpikir, dan berdiskusi. Kami ingin menghidupkan denyut kebersamaan," ujar Ciputra.
Dari Garasi Sunyi ke Proyek Pertama
Dijelaskan Ciputra, garasi yang ia tempati menjadi pusat diskusi dan tempat berlindung dari realitas pahit, tidak ada proyek, tidak ada pemasukan, dan tidak ada telepon yang berbunyi. Hanya tekad dan semangat kebersamaan yang menjaga bara tetap menyala.
"Kantor dalam garasi itu senyap dari pekerjaan konkret. Kami hanya berdiskusi dan berdiskusi tanpa ada satu pun proyek yang kami kerjakan," kenang Ciputra.
Seiring waktu, kebosanan mulai menggerogoti semangat. Frustrasi pun perlahan muncul, terutama saat menyadari bahwa tanpa proyek, tak akan ada penghasilan. Harapan seolah hanya bisa diletakkan pada masa depan setelah lulus kuliah.
"Saya mulai bersiap menghadapi realitas. Barangkali saya baru bisa mendapatkan penghasilan kelak kalau sudah lulus kuliah dan menyandang gelar insinyur. Artinya, masih beberapa tahun lagi Mama harus membanting tulang untuk membiayai kuliah saya," ungkapnya.
Namun, titik balik pun datang. Angin segar berhembus ketika beberapa orang mulai menghubungi mereka. Proyek pertama akhirnya datang, meski bukan proyek besar, hanya renovasi dan pembangunan rumah tinggal berskala kecil. Tapi, justru di situlah semangat mereka menyala kembali.
"Tidak apa. Kami sangat bergairah. Yang penting kami bekerja, membuktikan kemampuan, dan dapat penghasilan,” tukas Ciputra.
Dengan penuh semangat, Ciputra dan dua sahabatnya, Sofyan dan Brasali, membagi peran. Sofyan fokus pada desain, Ciputra mengatur bujet dan operasional di lapangan, sementara Brasali mengelola keuangan dan belanja material. Mereka bekerja siang malam, mengerjakan setiap detail dengan sepenuh hati.
"Bangunan yang kami buat harus kokoh, berkualitas, dan memiliki daya fungsi yang tinggi," tegasnya.
Meski proyek-proyek awal itu kecil, tantangannya sangat besar. Mereka bekerja dalam tekanan luar biasa, penuh kepanikan dan ketegangan karena tidak ada ruang untuk kesalahan. Tak ada cadangan dana jika terjadi kekeliruan dalam penghitungan.
"Panik karena tak mau gagal. Tak boleh ada yang keliru dari hasil maupun bujet. Jangan sampai kami keliru berhitung bujet. Bisa pingsan kami,” tutur Ciputra.
Namun kerja keras itu membuahkan hasil. Semua proyek berjalan lancar. Dan momen yang paling membekas bagi Ciputra adalah saat pertama kali ia menggenggam uang hasil jerih payahnya sendiri.
"Dahsyat! Meski tidak banyak, tapi itu seperti memberi keyakinan pada saya bahwa ranah kerja ini bisa membawa dampak nyata bagi hidup. Saya bisa mencari makan di sini. Dan lebih dari itu, saya bisa berprestasi di sini,” ungkapnya.
Baca Juga: Ciputra dan Dua Sahabat Serta Mimpi Menjadi Arsitek yang Penuh Rintangan