Maka dari itu, langkah kolaborasi dipilih untuk melawan persepsi tersebut dengan strategi baru yang lebih terbuka. “It's a perception, so we have to fight perceptions with another perceptions,” tuturnya.

Setelahnya, strategi perusahaan fokus pada connectivity dan multi-access, dengan prinsip bahwa dari mana pun permintaan datang, Bluebird harus siap melayani.

Diungkap Adrianto, Bluebird saat itu menghadapi persepsi bahwa perusahaan kurang adaptif terhadap perkembangan teknologi. Sebab itu, keputusan besar lainnya yang diambil Bluebird adalah melakukan investasi di bidang teknologi secara masif. 

Tantangannya, investasi ini dilakukan ketika bisnis sedang mengalami tekanan akibat disrupsi digital. Namun justru hal itu menjadi momentum untuk berubah.

“Pada saat revenue lagi turun, we have to change our technology. Itu juga keputusan investasi yang sangat besar,” cerita Adrianto.

Baca Juga: Mengenal Noni Sri Ayati Purnomo, Perempuan Tangguh yang Mengemudikan Roda Bisnis Bluebird

Transformasi tersebut dimulai pada 2017 dengan merancang sistem baru. Proses pembuatan dilakukan pada 2018 dan implementasi penuh selesai pada 2019, di mana melibatkan nilai investasi hingga ratusan miliar rupiah. Hasilnya, Bluebird menjadi lebih relevan, agile, dan lebih mampu mengikuti kebutuhan konsumen masa kini.

Namun setelah berbagai upaya besar dilakukan, tantangan baru muncul yakni saat pandemi COVID-19 di tahun 2020. Kondisi ini sempat menjadi pukulan berat, mengingat industri transportasi adalah sektor yang paling terdampak.

“Bayangkan itu kayak rollercoaster. But that's life, we can never expect everything as we plan,” tutup Adrianto.

Perjalanan Bluebird menunjukkan bahwa dalam dunia bisnis yang serba cepat, inovasi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Kolaborasi dengan kompetitor, investasi teknologi besar-besaran, dan kemampuan beradaptasi menjadi fondasi yang memungkinkan perusahaan bertahan, bahkan tetap relevan di tengah perubahan besar.