Di balik ikon taksi biru yang telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Indonesia, nama Purnomo Prawiro menjadi sosok sentral dalam mengembangkan Blue Bird dari sekadar usaha kecil keluarga hingga menjelma sebagai perusahaan transportasi terbesar di Tanah Air.

Purnomo Prawiro, sebagai anak bungsu dari Mutiara Fatimah Djokosoetono, pendiri taksi Blue Bird, memegang peran penting dalam pengembangan bisnis. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai perjuangan Purnomo Prawiro dan juga sosoknya. Simak informasinya berikut ini:

Kehidupan Pribadi

Lahir pada 18 Oktober 1949, Purnomo merupakan anak bungsu dari pasangan Mutiara Fatimah dan Djokosoetono. Ia menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, meski akhirnya lebih banyak berkarier di dunia bisnis.

Baca Juga: Kisah Jatuh Bangun Mutiara Djokosoetono Mendirikan Bluebird

Ia menikah dengan Endang Basuki dan dikaruniai tiga anak, yakni Noni Purnomo, Sri Adriyani Lestari Purnomo, dan Adrianto Djokosoetono. Kini, putrinya Noni melanjutkan kepemimpinan keluarga dengan menjabat sebagai Direktur Utama PT Blue Bird Tbk.

Kekayaan dan Pengakuan

Forbes pada 2014 menempatkan Purnomo Prawiro di peringkat ke-25 orang terkaya di Indonesia, dengan kekayaan mencapai US$ 1,3 miliar. Kekayaan itu bukan hanya hasil dari ekspansi armada, melainkan juga diversifikasi bisnis Blue Bird Group.

Meski demikian, ia tetap dikenal sebagai sosok sederhana dan pekerja keras. Filosofi integritas dan kerja keras yang ia tanamkan menjadi fondasi kuat bagi ribuan pengemudi Blue Bird di seluruh Indonesia.

Awal Mula dari Taksi Keluarga

Kisah Blue Bird bermula pada 1965, saat keluarga Prawiro menghadapi masa sulit setelah kepergian sang ayah, Djokosoetono, seorang dosen dan Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Untuk menopang kehidupan, sang ibu Mutiara Fatimah Djokosoetono memutuskan mengoperasikan dua mobil hibah dari PTIK dan PTHM sebagai taksi. Usaha kecil ini kemudian dikenal dengan nama Chandra Taxi, dijalankan bersama anak-anaknya.

Purnomo, yang saat itu masih muda, ikut terjun langsung. Ia menjadi salah satu sopir, sementara kakaknya, Chandra Suharto, berperan sebagai operator telepon.

Baca Juga: Catat Kenaikan 14 Persen, Bluebird Sukses Kantongi Pertumbuhan Double Digit

Dari penghasilan taksi-taksi itu, perlahan mereka membeli armada tambahan, hingga mencapai 25 unit yang didatangkan dari Surabaya. Pada 1970-an, jumlahnya berkembang menjadi 60 unit taksi.

Lahirnya Blue Bird

Momentum penting hadir pada 1970, ketika Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin mewajibkan semua taksi berizin resmi. Kesempatan itu tak disia-siakan keluarga Prawiro. Dengan meminjam dana bank, mereka membeli 100 unit taksi baru dan mendirikan perusahaan dengan nama PT Sewindu Taksi, yang kemudian melahirkan merek Blue Bird.

Logo burung biru yang melesat tercipta dari ide Mutiara Fatimah, terinspirasi kisah “The Bird of Happiness” yang ia baca di masa kecil. Filosofi tersebut melekat hingga kini, menjadi simbol layanan yang nyaman dan aman.

Baca Juga: Bos Bluebird: Corporate Value Ibarat Jati Diri Perusahaan

Pada 1975, Purnomo mulai dipercaya memimpin sebagai direktur operasional, menggantikan kakaknya yang fokus di dunia akademik. Sejak saat itu, langkah-langkah strategisnya membawa Blue Bird menuju ekspansi besar-besaran.

Perkembangan Pesat di Bawah Kepemimpinan Purnomo

Di bawah arahan Purnomo, Blue Bird menjelma menjadi perusahaan transportasi dengan standar layanan yang berbeda. Tahun 1985, armada Blue Bird telah mencapai 2.000 unit. Ia menanamkan nilai inti: taksi ternyaman, teraman, dan pengemudi yang santun.

Tahun 1993, perusahaan meluncurkan Silver Bird, layanan taksi eksekutif dengan mobil mewah, sebagian besar eks-sedan yang digunakan pada Konferensi Tingkat Tinggi Non-Blok 1992 di Jakarta. Inovasi ini semakin memperkuat citra Blue Bird sebagai pelopor transportasi kelas atas di Indonesia.

Baca Juga: Peran Trah Djokosoetono dalam Bisnis Bluebird Group

Purnomo juga menghadapi tantangan internal, termasuk ketika sang ibu wafat pada tahun 2000 yang memicu perseteruan bisnis dengan kakaknya, Mintarsih Lestiani. Meski demikian, ia tetap memegang kendali dan menjaga Blue Bird terus berkembang.

Menjadi Ikon Transportasi Nasional

Popularitas Blue Bird makin menguat memasuki era 2000-an. Bahkan, pada 2010 saat Presiden Amerika Serikat Barack Obama berkunjung ke Indonesia, rombongan resminya menggunakan armada Blue Bird sebagai transportasi. Momen itu menjadi bukti pengakuan internasional atas standar layanan perusahaan.

Dengan ekspansi ke berbagai kota besar di Indonesia, jumlah armada Blue Bird mencapai 22 ribu unit pada 2014. Tahun yang sama, perusahaan melantai di bursa dengan melepas saham perdana (IPO) dan berhasil menghimpun dana Rp2,44 triliun.

Bisnis pun berkembang tak hanya di taksi, tetapi juga merambah ke mobil carteran, bus, logistik, hingga hotel. Purnomo berhasil mengubah Blue Bird menjadi sebuah grup besar yang memayungi berbagai lini usaha transportasi dan jasa.

Warisan Kepemimpinan

Pada 2019, setelah 25 tahun memimpin sebagai Presiden Direktur, Purnomo beralih menjadi anggota Dewan Penasihat Blue Bird Group. Meski tak lagi berada di garis depan operasional, ia tetap berperan membentuk arah strategis perusahaan, menjaga nilai-nilai yang telah diwariskan sejak awal.

Baca Juga: CEO Bluebird Sigit Djokosoetono Bagikan Tips Menumbuhkan Rasa Empati di Lingkup Perusahaan

Warisan terbesar Purnomo bukan hanya pada besarnya skala Blue Bird Group, tetapi juga nilai-nilai integritas, keandalan, dan layanan prima yang telah menjadi standar bagi industri transportasi nasional.

Dari mengemudikan taksi di jalanan Jakarta hingga memimpin perusahaan transportasi raksasa, perjalanan hidup Purnomo Prawiro adalah kisah tentang ketekunan, visi, dan dedikasi. 

Ia bukan hanya membangun sebuah bisnis keluarga menjadi ikon nasional, tetapi juga meninggalkan warisan nilai yang akan terus menjadi fondasi Blue Bird untuk generasi mendatang.