Keputusan The Fed untuk kembali mempertahankan tingkat suku bunganya atau The Fed Fund Rate (FFR) telah membuat kondisi pasar domestik Indonesia dipenuhi asumsi. Keputusan The Fed yang mempertahankan suku bunga di kisaran 5,25%-5,5% dianggap market sebagai indikator bahwa pemangkasan suku bunga The Fed makin jauh panggang dari api akan terjadi di tahun ini.

Ekonom Senior PT Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW), Emil Muhamad, mengatakan bahwa sejak akhir tahun lalu ekspektasi market terlalu dovish yang memprediksi setidaknya akan ada enam sampai tujuh kali pemangkasan suku bunga The Fed. Namun, pada akhir kuartal I yang lalu, data-data ekonomi Amerika Serikat tidak selemah yang diperkirakan pasar. Hal ini memaksa pasar mengubah ekspektasi mereka dari sebelumnya enam sampai tujuh kali rate cut, menjadi hanya satu sampai dua kali di tahun ini.

Baca Juga: Tren Pelemahan Nilai Tukar Rupiah di Tengah Konflik Timur Tengah, Seberapa Parah?

"Sampai Maret 2024 tidak ada perubahan ekspektasi tingkat FFR dari The Fed. Padahal, kinerja perekonomian AS hingga kuartal I 2024 mencatatkan kinerja yang cukup baik dan inflasi hanya turun perlahan. Pada proyeksi Maret 2024, The Fed memperkirakan ekonomi tumbuh 2,1 persen dan tingkat pengangguran AS juga turun menjadi 4 persen. Bahkan, inflasi AS diprediksi masih berada di tingkat 2,6 persen, di atas target inflasi The Fed di 2,0 persen," tambah Emil, dikutip Senin (6/5/2024).

Keputusan The Fed untuk mempertahankan tingkat suku bunganya bersamaan dengan daya tahan neraca eksternal yang sedang melemah. Merujuk data BI, neraca transaksi berjalan tahun 2023 telah berbalik mengalami defisit terkendali sebesar 1,6 miliar dolar AS atau 0,1 persen dari PDB. Sementara, surplus neraca perdagangan Indonesia juga turun dari surplus sebesar US$12,1 miliar di kuartal I 2023 menjadi hanya surplus US$7,31 miliar di kuartal I 2024.

Kondisi ini dapat disebut dengan The Perfect Storm, yakni kondisi saat tekanan global meningkat, tetapi di waktu bersamaan kondisi imunitas perekonomian domestik sedang turun. Dampaknya adalah nilai tukar rupiah yang terdepresiasi cukup signifikan terutama pasca-Lebaran, bahkan koreksi ini lebih dalam dibandingkan rata-rata mata uang Asia lainnya.

"Kondisi ini membuat Bank Indonesia merespons dengan menaikkan tingkat BI-Rate sebesar 25 bps menjadi 6,25% pada akhir April lalu. Respons ini cukup tepat sebagai langkah pre-emptive dan forward looking. Dampaknya ke bond market, belum akan terlihat rally dalam jangka pendek karena pasar masih dipenuhi ketidakpastian dan fear. Setidaknya, hingga Juli setelah data-data ekonomi AS menunjukkan sedikit pelemahan, di saat itulah, pasar obligasi kita akan menunjukkan kinerja positif yang lebih konsisten. Secara garis besar kami menilai koreksi di pasar obligasi global bukan hanya terpengaruh oleh data-data ekonomi AS, melainkan lebih kepada fear yang berkembang dari kesalahan ekspektasi dovish pasar pada akhir tahun lalu," ujar Emil.

Bahana TCW mengapresiasi langkah BI sudah tepat dan lebih realistis dibanding optimistis. Keputusan BI yang menaikkan BI Rate adalah sebuah skema off-cycle rate hike atau kenaikan suku bunga di luar siklusnya. Pasar akan lebih mengapresiasi langkah-langkah yang realistis dibanding yang optimistis.

Baca Juga: Indonesia Resmi Terima Roadmap Jadi Anggota OECD

Ibarat sedang sakit, kenaikan suku bunga BI adalah sebuah obat yang memang dibutuhkan. "Sepanjang kuartal II, jika BI masih konsisten bersikap hawkish, peluang penguatan SBN relatif terbatas. Ekspektasi kami, SBN baru akan menguat secara konsisten pada paruh kedua tahun ini. Jika stabilitas pasar obligasi global membaik dan tekanan pada rupiah berkurang, bukan tidak mungkin BI akan memiliki ruang untuk tetap melakukan pemotongan suku bunga menjelang akhir tahun. Kami berharap BI tetap konsisten dalam menjaga stabilitas dan menjaga kepercayaan investor untuk saat ini," tutup Emil.