Nilai tukar rupiah terus mengalami tren penurunan hingga menyentuh angka di atas Rp16.000 terhadap dolar Amerika Serikat (AS) selama sepekan ini. Angka tersebut merupakan yang pertama kali terjadi setelah tahun 2020. Pada awal perdagangan, Jumat (19/4) pagi, rupiah turun 84 poin atau 0,52 persen menjadi Rp16.263 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.179 per dolar AS.

Sejumlah pengamat meyakini, faktor terbesar terjadinya penurunan nilai tukar rupiah datang dari faktor eksternal. Memanasnya konflik di Timur Tengah, terutama setelah munculnya gejolak antara Iran dan Israel, membuat investor berhati-hati sehingga mereka menahan diri atau memilih aset aman seperti dolar AS. Menguatnya dolar AS dan juga angka inflasi yang belum sesuai harapan lantas direspons bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), dengan menunda menurunkan acuan suku bunganya.

Baca Juga: Sikap Indonesia atas Ketegangan di Timur Tengah, Menlu Retno: Upaya Diplomatik Perlu Terus Dilakukan

Menurut Kepala Ekonom Bank Syariah Indonesia Banjaran Indrastomo, jika konflik di Timur Tengah terus meluas, rupiah berpotensi makin tertekan ke level psikologis baru di kisaran Rp16.500. Melansir CNBC Indonesia, dia menjelaskan bahwa ketegangan global berpotensi mendorong kenaikan harga minyak ke level US$100/barel dan nilai tukar menyentuh Rp16.500 sehingga menyebabkan kenaikan beban subsidi BBM sekitar sepertiga dari prediksi.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Segara Institute, Piter Abdullah, menerangkan bahwa pelemahan rupiah akan berdampak pada ekspor dan impor Indonesia. Menurutnya, pelemahan rupiah akan menyebabkan harga barang impor naik, sedangkan pada sisi ekspor akan membuat harga barang-barang dari Indonesia menjadi lebih murah di pasar global.

Tak berhenti di situ, pelemahan nilai tukar rupiah bisa memengaruhi keputusan investor dalam berinvestasi di Indonesia. Bahkan, tegas Piter, akan ada dorongan capital outflows apabila investor meyakini jika pelemahan rupiah berlanjut.