Awal Didirikan Tobatenun

Tobatenun lahir dengan misi utama untuk melestarikan warisan tenun Batak. Kerri sebagai pendiri dan partnernya yang memiliki akar budaya Batak, melihat kekayaan wastra Sumatera Utara ini sebagai sesuatu yang perlu dijaga dan dikembangkan. Di samping itu, mereka juga ingin mengajak anak muda untuk ikut mendukung dan melestarikan warisan ini agar tetap relevan di era modern.

“Seperti yang tadi kita tahu, kalau ulos Batak itu yang paling dikenal mungkin kaku, mungkin dikenal dengan marhilong-hilong. Kalau orang Batak bilang artinya mengkilat, itu karena pakai benang sintetis. Kemudian, panas, kenapa? Jadi karena itu tadi benangnya, benang sintetis, Padahal kalau pesta Batak itu kan berjam-jam, jadi nggak nyaman dipakai. Nah kita melihat hal itu, bagaimana caranya supaya bisa beradaptasi ke demand yang sekarang, supaya lebih banyak lagi nih generasi muda yang mau pakai tenun Batak,” cerita Kerri dalam kesempatan yang sama.

Dalam kampanye dan strategi pemasaran Tobatenun, Kerri lebih memilih istilah "tenun Batak" dibandingkan "ulos." Hal ini lantaran ulos lebih spesifik merujuk pada kain dari Batak Toba, sedangkan di kelompok Batak lainnya seperti Karo atau Mandailing, kain tenun memiliki nama berbeda, seperti Uis atau Hiu. 

Dengan pendekatan tersebut, Tobatenun ingin membuat tenun Batak lebih dikenal luas, tidak hanya oleh masyarakat Batak, tetapi juga oleh masyarakat luas di luar pulau Sumatera. 

Komitmen Tobatenun tidak hanya terbatas pada pelestarian budaya, tetapi juga pada inovasi agar tenun Batak lebih nyaman dan relevan dengan kebutuhan pasar. Proses ini terus berkembang, dengan harapan dapat membawa tenun Batak ke panggung yang lebih luas dan diterima oleh berbagai kalangan.

Baca Juga: Pesona Batik 'Kendil Emas', Warisan Budaya Kebanggaan Warga Kendal yang Sarat Filosofi

Berupaya Libatkan Banyak Penenun Perempuan

Pada 2020 lalu, Kerri sempat melakukan sebuah survei kepada kurang lebih 500 penenun yang berada di Sumatera Utara. Dari hasil survei, kebanyakan penenun sudah berusia matang dan tidak banyak regenerasi. 

Hal tersebut dikarenakan, banyak anak muda yang melihat penenun bukanlah sebagai profesi unggulan dan tidak menghasilkan banyak uang, Sebab itu, banyak anak muda yang memilih mencari pekerjaan ke kota besar, alih-alih sebagai pengrajin handicraft di tanah kelahirannya.

Kondisi itu pula yang menjadi perhatian Tobatenun, kala itu. Untuk menjaga warisan budaya tenun Batak, Kerri berupaya melibatkan banyak komunitas penenun dan membangun struktur sosial yang lebih kuat. Dengan jumlah penenun yang mencapai ribuan di Sumatera Utara, Kerri berupaya menciptakan dampak sosial positif, terutama bagi perempuan yang mendominasi industri ini. 

Di samping itu, Kerri juga menemukan kondisi banyak penenun perempuan yang memiliki peran ganda, yakni sebagai petani dan ibu rumah tangga. Mirisnya, mereka sering kali mengalami keterbatasan ekonomi dan sosial, termasuk menerima kekerasan dalam rumah tangga. 

Kondisi tersebut yang membuat Kerri semakin terdorong untuk mewujudkan program-program bersama Tobatenun yang melibatkan banyak penenun perempuan dan berusaha memberikan kesempatan ekonomi yang lebih baik, serta membangun kesadaran akan pentingnya keberlanjutan.

“Jadi itu tadi, kita berusaha semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ramah lingkungan meskipun tidak mudah,” tutur Kerri.