Di tengah derasnya arus modernisasi, banyak pelaku UMKM yang tetap bertahan dengan terus melestarikan warisan budaya yang telah ada sejak lama. Salah satu cerita inspiratif datang dari Kerri na Basaria Pandjaitan, seorang wirausahawan yang juga dikenal aktif menjaga dan melestarikan kebudayaan
Memiliki kecintaan mendalam terhadap budaya leluhur, putri Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan ini, berhasil mengangkat Tobatenun menjadi brand lokal yang tidak hanya memperkenalkan keindahan tekstil tradisional Sumatera Utara, tetapi juga memiliki misi untuk merevitalisasi dan melestarikan warisan budaya tersebut melalui inovasi dan dedikasi yang luar biasa.
Sejak didirikan pada 2018, Tobatenun telah memberdayakan lebih dari 200 perajin kain tenun lokal, sebagian besar di antaranya adalah perempuan. Brand ini dikenal dengan koleksi ulos yang berbeda dengan tenun Batak lainnya, salah satunya dari warna yang dominan menggunakan warna pastel atau earth tone.
“Kenapa begitu? Karena memang kita memakai kebanyakan dari pewarnaan natural, yang untuk mencapai satu warna itu cukup prosesnya cukup panjang, sehingga warna-warna yang dicapai itu kebanyakan warna pastel,” ujar Kerri dalam sebuah kesempatan seperti Olenka kutip, Senin (3/2/2025).
Baca Juga: Kisah Inspiratif UKMK Sawit: Smart Batik Jadi Pelopor Batik Ramah Lingkungan yang Inovatif
Selain pelestarian budaya, Toba Tenun juga menyesuaikan produknya dengan preferensi pasar urban, seperti Jakarta. Mereka berusaha menghadirkan tenun yang lebih nyaman dipakai, sehingga lebih relevan bagi generasi muda.
Lanjut Kerri, proses benang juga menjadi salah satu latar belakang mengapa Tobatenun bisa bertahan hingga saat ini. Tobatenun didirikan dengan tujuan utama menjaga kelangsungan tenun Batak, bukan hanya sebagai warisan budaya tetapi juga sebagai industri yang berkelanjutan.
Awal Didirikan Tobatenun
Tobatenun lahir dengan misi utama untuk melestarikan warisan tenun Batak. Kerri sebagai pendiri dan partnernya yang memiliki akar budaya Batak, melihat kekayaan wastra Sumatera Utara ini sebagai sesuatu yang perlu dijaga dan dikembangkan. Di samping itu, mereka juga ingin mengajak anak muda untuk ikut mendukung dan melestarikan warisan ini agar tetap relevan di era modern.
“Seperti yang tadi kita tahu, kalau ulos Batak itu yang paling dikenal mungkin kaku, mungkin dikenal dengan marhilong-hilong. Kalau orang Batak bilang artinya mengkilat, itu karena pakai benang sintetis. Kemudian, panas, kenapa? Jadi karena itu tadi benangnya, benang sintetis, Padahal kalau pesta Batak itu kan berjam-jam, jadi nggak nyaman dipakai. Nah kita melihat hal itu, bagaimana caranya supaya bisa beradaptasi ke demand yang sekarang, supaya lebih banyak lagi nih generasi muda yang mau pakai tenun Batak,” cerita Kerri dalam kesempatan yang sama.
Dalam kampanye dan strategi pemasaran Tobatenun, Kerri lebih memilih istilah "tenun Batak" dibandingkan "ulos." Hal ini lantaran ulos lebih spesifik merujuk pada kain dari Batak Toba, sedangkan di kelompok Batak lainnya seperti Karo atau Mandailing, kain tenun memiliki nama berbeda, seperti Uis atau Hiu.
Dengan pendekatan tersebut, Tobatenun ingin membuat tenun Batak lebih dikenal luas, tidak hanya oleh masyarakat Batak, tetapi juga oleh masyarakat luas di luar pulau Sumatera.
Komitmen Tobatenun tidak hanya terbatas pada pelestarian budaya, tetapi juga pada inovasi agar tenun Batak lebih nyaman dan relevan dengan kebutuhan pasar. Proses ini terus berkembang, dengan harapan dapat membawa tenun Batak ke panggung yang lebih luas dan diterima oleh berbagai kalangan.
Baca Juga: Pesona Batik 'Kendil Emas', Warisan Budaya Kebanggaan Warga Kendal yang Sarat Filosofi
Berupaya Libatkan Banyak Penenun Perempuan
Pada 2020 lalu, Kerri sempat melakukan sebuah survei kepada kurang lebih 500 penenun yang berada di Sumatera Utara. Dari hasil survei, kebanyakan penenun sudah berusia matang dan tidak banyak regenerasi.
Hal tersebut dikarenakan, banyak anak muda yang melihat penenun bukanlah sebagai profesi unggulan dan tidak menghasilkan banyak uang, Sebab itu, banyak anak muda yang memilih mencari pekerjaan ke kota besar, alih-alih sebagai pengrajin handicraft di tanah kelahirannya.
Kondisi itu pula yang menjadi perhatian Tobatenun, kala itu. Untuk menjaga warisan budaya tenun Batak, Kerri berupaya melibatkan banyak komunitas penenun dan membangun struktur sosial yang lebih kuat. Dengan jumlah penenun yang mencapai ribuan di Sumatera Utara, Kerri berupaya menciptakan dampak sosial positif, terutama bagi perempuan yang mendominasi industri ini.
Di samping itu, Kerri juga menemukan kondisi banyak penenun perempuan yang memiliki peran ganda, yakni sebagai petani dan ibu rumah tangga. Mirisnya, mereka sering kali mengalami keterbatasan ekonomi dan sosial, termasuk menerima kekerasan dalam rumah tangga.
Kondisi tersebut yang membuat Kerri semakin terdorong untuk mewujudkan program-program bersama Tobatenun yang melibatkan banyak penenun perempuan dan berusaha memberikan kesempatan ekonomi yang lebih baik, serta membangun kesadaran akan pentingnya keberlanjutan.
“Jadi itu tadi, kita berusaha semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ramah lingkungan meskipun tidak mudah,” tutur Kerri.
Jabu Bonang & Jabu Borna
Jabu Bonang merupakan rumah komunitas untuk mengapresiasi sosok penenun sebagai pelaku utama dalam ekosistem tenun. Rumah komunitas ini didirikan Kerri pada 2020 lalu, yang juga menjadi perwakilan Tobatenun untuk menjalankan program-program sosialnya.
Di Jabu Bonang, Tobatenun juga menaungi para artisan, individual maupun kelompok. Rumah komunitas ini juga sudah melakukan kerjasama dengan beberapa pelaku tenun yang sudah menjadi pengusaha.
“Seiring waktu kita mulailah bikin satu rumah pewarnaan alam yang tadinya di atap rumah founder, kemudian pindahlah ada rumah komunitas di Pematang Siantar, terus kita bikin-lah sekarang satu rumah lagi, Jabu Borna,” jelas Kerri.
Jabu Borna berlokasi di Desa Tanjung Pinggir, Pematangsiantar, Sumatera Utara. Rumah komunitas ini menjadi tempat khusus tim produksi Tobatenun mewarnai benang untuk tenun dengan material alami.
Kualitas material merupakan faktor penting dalam menciptakan karya tenun yang baik. Sayangnya pada 2020, material berkualitas masih didominasi oleh Pulau Jawa, sehingga para penenun di Sumatera Utara harus melewati proses panjang. Mereka harus membeli benang dari Jawa, mengirimnya kembali untuk proses pewarnaan di berbagai daerah, lalu dikembalikan lagi ke Sumatera Utara.
Kerri melihat hal tersebut kurang efisien, hingga akhirnya didirikanlah Jabu Borna atau rumah pewarnaan alami. Di Jabu Borna, berbagai tanaman pewarna alami mulai dibudidayakan, sehingga benang dan kain dapat diwarnai langsung di Sumatera Utara tanpa harus dikirim ke luar daerah.
Selain mewarnai benang, Tobatenun juga mengembangkan teknik pewarnaan seperti shibori, dengan meramu sembilan bahan alami untuk menciptakan berbagai warna unik. Hingga saat ini, ada sekira 40 warna yang berhasil diciptakan sendiri oleh para penenun, dan pada 2020 sudah hampir 1 ton benang yang berhasil mereka olah.
“Jadi di Jabu Borna kita mewarnai benang dan kain, kemudian kita menanam, local sourcing juga. Kita bekerja sama, kayak misalnya dengan produsen-produsen kayu yang mungkin limbah kayunya itu sudah enggak dipakai. Kita absorb untuk kita olah lagi,” cerita Kerri.
“Kemudian kita juga melakukan workshop untuk mengenalkan ke masyarakat sekitar terkait pewarnaan alam, dan kita juga buka. Jadi, kalau misalnya ada yang di Sumatera Utara atau mungkin ke Pematangsiantar, pengen mampir ke Jabu Borna, ini kita terbuka untuk bisa belajar tentang pewarnaan alam,” tambahnya.
Ekosistem Berkelanjutan
Sejak didirikan, Tobatenun juga berkomitmen terhadap keberlanjutan atau sustainability, namun, hal ini juga yang menjadi tantangan bagi Kerri. Mengingat, sebelumnya sebagian besar para penenun terbiasa menggunakan benang sintetis hampir 100% belum pernah bekerja dengan benang pewarna alami.
“Kenapa? Karena benang pewarnaan alam itu habis diceluk gampang putus, habis itu kesusahan, tapi melewati kesusahan itu kita ajarin bahwa value produknya akan lebih tinggi dan lebih bagus sebenarnya,” kata Kerri.
Karena itu pula dibentuk komunitas Jabu Bonang, rumah komunitas yang berfungsi sebagai wadah kemitraan bagi para artisan. Kemitraan ini bukan dalam bentuk hubungan karyawan, melainkan kolaborasi berbasis pelatihan dan pemberdayaan.
Selain itu, salah satu aspek penting dalam pelatihan adalah kombinasi warna, yang menjadikan produk Tobatenun lebih modern dibandingkan tenun Batak tradisional. Selain itu, motif-motif yang sudah ada disempurnakan oleh desainer tekstil agar lebih menarik dan relevan dengan tren saat ini.
“Puji Tuhan, sekarang kita punya penenun sudah mulai dari usia 20-an sampai 70-an ada. Nah dari hasil ini semua, kurang lebih kita sampai sekarang sudah 4 tahun berjalan, lebih dari 200 partner artisan. Kemudian ini kita sudah mengcover 36 desa dari 36 desa dan 200 ini kita sudah berhasil merevitalisasi 9 tipe kain tenun Batak,” terang Kerri.
Revitalisasi ini merupakan proses panjang dengan riset dan pengembangan yang tidak mudah serta biaya yang tinggi. Namun, sebagai misi pelestarian budaya, Tobatenun terus berkomitmen untuk menghidupkan kembali motif-motif yang hampir punah.
Selain itu, Tobatenun juga memperkenalkan konsep creative weaving, di mana para artisan didorong untuk menciptakan motif mereka sendiri. Awalnya, banyak yang merasa ragu karena terbiasa menenun pola-pola tradisional. Namun, setelah diberikan kebebasan berkreasi, mereka mulai melihat proses ini seperti melukis di atas kain.
Hasilnya, sebanyak 13 motif baru telah diciptakan melalui program creative weaving. Menariknya, motif-motif ini mendapat respons positif dari pasar, bahkan banyak diminati oleh konsumen di Jakarta yang bukan berasal dari suku Batak.
“Kita kasih kebebasan, ternyata demand-nya cukup tinggi di Jakarta yang kebanyakan bukan orang Batak juga yang pada suka. Nah, ini satu program yang berhasil dan kita sudah berhasil menciptakan 13 motif, dan bikin motif itu susah sekali. Jadi, artisan ini pada jago matematika, rata-rata,” akunya.
Perjalanan Kreatif Tobatenun
Toba Tenun menghadirkan berbagai koleksi kain dan benang dengan pendekatan yang beragam. Salah satunya adalah mission product, yang berfokus pada revitalisasi tenun tradisional dengan riset jangka panjang.
Meski permintaannya di pasar tidak terlalu tinggi, produk ini tetap dibuat dengan tujuan utama untuk melestarikan warisan budaya. Selain itu, ada juga produk komersial yang lebih wearable, seperti kain tenun dan kain shibori, termasuk dua koleksi terbaru yang telah diluncurkan, salah satunya di CF3 baru-baru ini.
Selain produk tenun, Toba Tenun juga mengembangkan lini upcycle dan workshop, sebagai bagian dari upaya pengelolaan limbah kain. Sejauh ini, sekitar 61 kg sisa kain telah diolah kembali menjadi berbagai produk kreatif, seperti kap lampu, tas, dan karya seni. Salah satu hasil upcycle yang menarik adalah lukisan berbahan dasar kain tenun, yang bahkan telah dipajang di badan pesawat AirAsia.
“Kita juga mengadakan workshop untuk menggunakan leftover fabric. Kalau mau lihat lebih banyak lagi tentang hasil kerajinan tenun Batak dan hasil upaya kami, toba tenun bisa dilihat, kebetulan ini berdekatan, kita di Mega Kuningan, kami yang di Jakarta ada di Sopodel, di lantai satunya, mungkin bisa mampir di ground floor, kemudian ada di Alun-Alun, ada di Lakon, dan juga ada di Sarinah,” kata Kerri.
Baca Juga: Pesona Batik Indonesia Tembus Pasar Dunia Bersama Teknologi E-commerce, Seperti Apa?
Kehadiran Tobatenun di Jakarta
Di Jakarta, Tobatenun berperan sebagai garda depan dalam pemasaran dan pengenalan produk kepada konsumen. Prosesnya dimulai dari kain tenun yang kemudian dikembangkan menjadi berbagai produk dengan nilai tambah, seperti pakaian siap pakai yang lebih wearable dan komersial.
Selain itu, tenun Batak juga dikreasikan menjadi home decor, aksesori, dan produk lainnya agar lebih luas penggunaannya.
Dalam proses produksi, tentu ada sisa kain atau leftover fabric. Mengingat pembuatan tenun melibatkan proses panjang dan banyak tenaga kerja, setiap kain memiliki nilai yang tinggi, sehingga sayang jika terbuang begitu saja. Oleh karena itu, Toba Tenun juga mengolah sisa kain ini agar tetap bermanfaat.
“Karena kita tahu prosesnya itu cukup panjang dan melibatkan begitu banyaknya manusia, jadi sayang banget kalau misalnya ada yang terbuang. Nah dari sinilah kita, kita mengolah fabric questest juga, enggak cuma fabric questest kadang ada juga nih dari hasil pelatihan kainnya itu defect, namanya pelatihan yang namanya orang baru-baru mulai belajar dari benang yang ini kan benang yang pewarna alam, kadang motifnya itu berantakan gitu. Nah jadinya itu pun kita olah lagi,” paparnya.
Membangun ekosistem yang berkelanjutan adalah upaya kolaboratif. Tidak hanya dari sisi pelaku usaha, tetapi juga dukungan masyarakat yang memahami cerita di balik setiap produk, serta peran pemerintah dalam menciptakan ekosistem industri kreatif yang lebih berkelanjutan.
“Semoga cerita ini bisa menginspirasi untuk teman-teman semua yang mungkin ada yang tertarik untuk mencoba melakukan usaha dari hal-hal yang kecil untuk membuka satu usaha yang sustainable,” tukas Kerri.