Kedua, biodiesel itu juga berguna untuk rakyat Indonesia terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah karena pengguna biodiesel subsidi ini juga telah diatur oleh pemerintah, misalnya sopir truk, nelayan dan yang lainnya. 

Ketiga, dengan program ini menghemat devisa negara. Dengan Program B35 yang diberlakukan saat ini berarti negara tidak perlu mengimpor sebanyak 35% solar yang dibutuhkan Indonesia. 

Salah Kaprah

Kendati demikian, masih saja ada tudingan yang menyatakan kebijakan mandatori biodiesel ini menguntungkan produsen biodiesel yang notabene merupakan korporasi besar. Tudingan tersebut, salah satunya datang dari Anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka.

Menurutnya, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tidak adil dalam menyalurkan anggaran yang dikelolanya.

“Ada tiga perusahaan besar yang merupakan produsen biodiesel dapat Rp176 triliun atau sekitar 91,3% dari dana yang disalurkan BPDPKS. Sementara untuk kebutuhan perkebunan sawit rakyat di antaranya untuk replanting atau peremajaan sawit rakyat (PSR) hanya sekitar 0,37%,” kata Rieke Diah Pitaloka pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Direksi PTPN Holding dan Perhutani yang disiarkan melalui Instagram pribadinya riekediahp.

Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman membantah tudingan tersebut. Dia menegaskan penyaluran subsidi untuk selisih harga indeks pasar (HIP) biodiesel dan solar dengan pungutan ekspor kepada perusahaan sawit adalah hal yang berbeda.

“Tidak ada kaitannya antara pungutan ekspor dengan produksi ini. Itu berdiri sendiri-sendiri. Saya tekankan berdiri sendiri-sendiri. Banyak perusahaan biodiesel yang bukan eksportir,” kata Eddy.

Eddy menegaskan uang subsidi itu bukan untuk kepentingan pengusaha. Menurutnya, subsidi justru menjaga agar harga biodiesel dan solar di masyarakat terjangkau.

Dalam menyalurkan dananya, BPDPKS tidak membeda-bedakan antara kepentingan mandatori biodiesel dengan PSR. BPDPKS akan memberikan berapapun kebutuhan untuk PSR. Namun persoalannya selama ini, anggaran yang disiapkan BPDPKS untuk PSR selalu saja tak terserap 100%. 

“Jangan membeda-bedakan antara biodiesel sama PSR. Berapa pun yang diperlukan untuk PSR akan kami kasih, sepanjang itu bisa terserap. Masalahnya gini loh, misal alokasikan Rp50 triliun, tapi kamu (petani) cuma bisa menyerap Rp1 triliun. Kan gak ada gunanya Rp50 triliun itu,” sambungnya.

Diketahui, BPDPKS dibentuk oleh Pemerintah untuk mendukung ketercapaian upaya mewujudkan sawit berkelanjutan. Sesuai dengan Perpres 61/2015 jo. Perpres 24/2016 jo. Perpres 66/2018, Pemerintah memberikan tugas kepada BPDPKS untuk menghimpun, mengembangkan, dan menggunakan Dana Perkebunan Kelapa Sawit bagi kemaslahatan industri sawit.  

BPDPKS diberikan mandat untuk melakukan sejumlah tindakan, yakni: (1) pengembangan sumber daya manusia perkebunan kelapa sawit, (2) penelitian dan pengembangan perkebunan kelapa sawit, (3) promosi perkebunan kelapa sawit, (4) peremajaan perkebunan kelapa sawit, dan (5) sarana dan prasarana perkebunan kelapa sawit. Penggunaan dana di atas termasuk dalam rangka pemenuhan hasil perkebunan kelapa sawit untuk kebutuhan pangan, hilirisasi industri perkebunan kelapa sawit, serta penyediaan dan pemanfaatan bahan bakan nabati jenis biodiesel. (SDR)