Dalam data yang dipaparkan Tungkot, penghematan devisa impor solar mengalami peningkatan dari Rp3,7 triliun di 2018 menjadi Rp121,5 triliun di 2023 dengan penerapan B35. 

“Kalau mandatori biodiesel ini naik menjadi B40 bisa menghemat devisa sekitar USD13 miliar-USD15 miliar (Rp211 triliun-244 triliun). Ini tergantung harga solar internasional,” ujarnya.

Untungkan Petani Sawit

Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat ME Manurung mengatakan sejak tahun 2015 petani belum pernah mendapatkan harga tandan buah segar (TBS) yang cocok. Namun, melalui program biodiesel naiknya harga CPO bisa dinikmati oleh petani. 

“Kami petani yang merasakan manfaatnya bukan mereka yang teriak di luar negeri,” ucapnya.

Ia menyebut program biodiesel ini sangat strategis dalam rangka mendukung keberlanjutan sawit nasional. Menurutnya seandainya kelebihan pasokan dalam negeri tidak terserap lewat program biodiesel akan terjadi kelebihan stok, yang berdampak pada turunnya harga pada harga TBS di tingkat petani. 

“Secara berlanjut akan berdampak pada pendapatan petani, prinsipnya itu,” paparnya.

Hal yang sama dikemukakan Ketua Apkasindo Provinsi Riau Suher. Menurutnya, kebijakan mandatori biodiesel ini mengatrol harga TBS di tingkat petani. 

“Harga TBS itu bergantung pada harga CPO. Jika CPO-nya banyak diserap di dalam negeri untuk bahan baku biodiesel bisa dipastikan harga TBS akan naik. Ini kan menguntungkan petani,” katanya.

Suher tak sependapat bahwa kebijakan mandatori biodiesel ini hanya menguntungkan produsen biodiesel yang hanya dimiliki segelintir orang saja. Menurut Suher, kebijakan ini menguntungkan petani sawit karena mendapatkan harga TBS yang tinggi dan rakyat Indonesia terutama mereka yang berpenghasilan rendah.

“Biodiesel yang dijual ini kan barang subsidi. Mereka yang beli kan juga diatur pemerintah yakni masyarakat berpenghasilan rendah, seperti sopir truk, nelayan dan sebagainya. Ini kan menguntungkan rakyat,” papar Suher.

Persoalan produsen biodiesel mendapatkan keuntungan, kata Suher, hal itu merupakan hal yang wajar saja.

Baca Juga: BPDPKS dan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tidak Bisa Dipisahkan

“Yang ada itu kan biodiesel itu dijual oleh produsen kemudian dibeli oleh Pertamina, lantas ada margin. Yang namanya korporasi itu dia punya produksi, lantas dia jual dan dapat keuntungan, itu wajar-wajar saja. Gak ada yang salah,” katanya. 

Perusahaan yang memproduksi biodiesel atau FAME tersebut, lanjut Suher, wajar saja dapat keuntungan. Keuntungannya itupun kan diatur sama pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan, termasuk biaya olah, harga CPO, harga referensi yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan (Kemendag). 

“Jadi di sini tidak ada keuntungan secara berlebihan yang didapatkan produsen biodiesel. Karena semuanya telah diatur oleh peraturan yang dibuat pemerintah dalam hal ini Kemendag. Harga referensi merupakan patokan dari penetapan harga biodiesel maupun pembelian CPO,” katanya. 

Suher menegaskan bahwa program mandatori biodiesel ini menjamin masa depan petani sawit. Karena dengan program ini akan terjadi multiplier effect. Pertama, petani akan mendapatkan harga yang menguntungkan dari TBS yang dijualnya, meskipun belum optimal.