Program Mandatori Biodiesel yang sudah diterapkan di Indonesia sejak tahun 2014. Melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 12/2015, kebijakan mandatori biodiesel dipercepat dari B10 tahun 2014, menjadi B15 (2015) dan B20 (2016), dan B30 pada 2020.
Sejak 1 Februari 2023 Indonesia menerapkan B35 hingga saat ini. B35 adalah campuran bahan bakar nabati dari minyak kelapa sawit, dengan kadar minyak sawitnya 35%, sementara 65% sisanya dari bahan bakar minyak (BBM) solar.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa penerapan Program Mandatori Biodiesel ini ditempuh dalam rangka mencapai ketahanan dan kemandirian energi menuju transisi energi yang merata dan berkeadilan.
Hal tersebut dikarenakan pemerintah terus berkomitmen mendorong penggunaan energi baru terbarukan, salah satunya melalui penerapan Program Mandatori Biodiesel.
“Mandatori biodiesel ini sebagai substitusi bahan bakar solar yang digunakan di mesin diesel, dan juga membawa Indonesia dengan energi yang ramah lingkungan,” kata Airlangga dikutip Olenka, Sabtu (6/7/2024).
Kebijakan B35 tersebut diharapkan dapat menyerap 13,15 juta kiloliter biodiesel bagi industri dalam negeri. Implementasi kebijakan juga diperkirakan akan menghemat devisa sebesar USD10,75 miliar dan meningkatkan nilai tambah industri hilir sebesar Rp16,76 triliun. Kebijakan B35 juga diproyeksikan akan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 34,9 juta ton CO2.
Baca Juga: BPDPKS Ajak Gen Z Kenal Kelapa Sawit Secara Objektif
“Pemerintah mendorong BUMN seperti Pertamina dan PLN untuk menggunakan produk yang lebih sustainable dan mendorong ini menjadi Key Performance Indicator (KPI) dari para direksi yang bergerak di bidang energi,” kata Menko Airlangga.
Program B35 juga melibatkan dukungan program biodiesel yang meliputi kecukupan pasokan, program insentif dari sawit berupa pungutan ekspor CPO dan turunannya yang dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), serta monitoring dan evaluasi secara berkala.
Kebijakan mandatori biodiesel merupakan kebijakan pembangunan nasional (bukan kebijakan perusahaan) yang merupakan alat mencapai tujuan pembangunan yakni membangun kemandirian ekonomi nasional, sehingga bukan sekadar bagaimana target-target mandatori biodiesel itu dicapai, melainkan perlu dilihat apakah cara kebijakan implementasinya menyumbang pada tujuan utama tersebut di atas.
Suatu instrumen kebijakan meskipun dapat memberhasilkan target-target mandatori biodiesel namun menciptakan dampak kerugian yang lebih besar dalam perekonomian adalah kontra produktif dengan tujuan utama (worse-off), sehingga instrumen yang demikian bukanlah kebijakan pembangunan yang benar.
Sebaliknya instrumen kebijakan implementasi mandatori biodiesel sekalipun menambah beban anggaran atau mengurangi pendapatan pemerintah, namun menciptakan dampak manfaat “kue ekonomi” yang jauh lebih besar, merupakan instrumen kebijakan yang menyumbang pada tujuan utama (better-off).
B40 Diberlakukan Tahun Depan
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Eniya Listiani Dewi menuturkan mandatori B40 akan diterapkan di seluruh sektor pada tahun depan. Pemerintah telah menyelesaikan uji coba penggunaan B40 di sektor otomotif.
Saat ini pengujian masih dijalankan di sektor alat berat pertambangan, perkeretaapian, kelautan, alat dan mesin pertanian (alsintan).
“Kita tunggu hasil uji coba sampai Desember tahun ini. Kita harapkan hasilnya bisa direalisasikan, sehingga tahun depan kita sudah siap semua sektor pemakaian B40,” kata Eniya pada acara Diskusi Strategi Meningkatkan Daya Saing Kelapa Sawit Indonesia Melalui Hilirisasi di Jakarta, Kamis (6/6/2024).
Eniya mencatat pemanfaatan biodiesel telah membuahkan hasil signifikan terhadap penurunan impor solar, yakni dari 12,5 juta kiloliter (kl) di 2012 menjadi 3,2 juta kl di 2020. Peningkatan mandatori biodiesel juga disebut dapat memperbaiki defisit neraca perdagangan serta menjaga stabilitas harga CPO.
“Kita upayakan B40 bisa secepat mungkin direalisasikan karena biodiesel ini dapat menjaga harga CPO,” katanya.
Baca Juga: BPDPKS Ajak Insan Pendidikan Berperan Aktif dalam Menjaga Eksistensi Komoditas Kelapa Sawit
Pada acara yang sama Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung meramalkan B40 dapat menghemat devisa negara hingga USD15 miliar atau sekitar Rp244 triliun (kurs Rp16.273).
Sejak 2004, Indonesia menjadi net importir minyak fosil. Dengan peningkatan biodiesel, Indonesia perlahan mulai mengurangi ketergantungan impor fosil dan digantikan dengan unsur nabati lewat mandatori biodiesel. Meningkatnya konsumsi biodiesel domestik tercatat mengurangi ketergantungan penggunaan impor solar dari 41% di 2011 menjadi 18% di 2023.
Dalam data yang dipaparkan Tungkot, penghematan devisa impor solar mengalami peningkatan dari Rp3,7 triliun di 2018 menjadi Rp121,5 triliun di 2023 dengan penerapan B35.
“Kalau mandatori biodiesel ini naik menjadi B40 bisa menghemat devisa sekitar USD13 miliar-USD15 miliar (Rp211 triliun-244 triliun). Ini tergantung harga solar internasional,” ujarnya.
Untungkan Petani Sawit
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat ME Manurung mengatakan sejak tahun 2015 petani belum pernah mendapatkan harga tandan buah segar (TBS) yang cocok. Namun, melalui program biodiesel naiknya harga CPO bisa dinikmati oleh petani.
“Kami petani yang merasakan manfaatnya bukan mereka yang teriak di luar negeri,” ucapnya.
Ia menyebut program biodiesel ini sangat strategis dalam rangka mendukung keberlanjutan sawit nasional. Menurutnya seandainya kelebihan pasokan dalam negeri tidak terserap lewat program biodiesel akan terjadi kelebihan stok, yang berdampak pada turunnya harga pada harga TBS di tingkat petani.
“Secara berlanjut akan berdampak pada pendapatan petani, prinsipnya itu,” paparnya.
Hal yang sama dikemukakan Ketua Apkasindo Provinsi Riau Suher. Menurutnya, kebijakan mandatori biodiesel ini mengatrol harga TBS di tingkat petani.
“Harga TBS itu bergantung pada harga CPO. Jika CPO-nya banyak diserap di dalam negeri untuk bahan baku biodiesel bisa dipastikan harga TBS akan naik. Ini kan menguntungkan petani,” katanya.
Suher tak sependapat bahwa kebijakan mandatori biodiesel ini hanya menguntungkan produsen biodiesel yang hanya dimiliki segelintir orang saja. Menurut Suher, kebijakan ini menguntungkan petani sawit karena mendapatkan harga TBS yang tinggi dan rakyat Indonesia terutama mereka yang berpenghasilan rendah.
“Biodiesel yang dijual ini kan barang subsidi. Mereka yang beli kan juga diatur pemerintah yakni masyarakat berpenghasilan rendah, seperti sopir truk, nelayan dan sebagainya. Ini kan menguntungkan rakyat,” papar Suher.
Persoalan produsen biodiesel mendapatkan keuntungan, kata Suher, hal itu merupakan hal yang wajar saja.
Baca Juga: BPDPKS dan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tidak Bisa Dipisahkan
“Yang ada itu kan biodiesel itu dijual oleh produsen kemudian dibeli oleh Pertamina, lantas ada margin. Yang namanya korporasi itu dia punya produksi, lantas dia jual dan dapat keuntungan, itu wajar-wajar saja. Gak ada yang salah,” katanya.
Perusahaan yang memproduksi biodiesel atau FAME tersebut, lanjut Suher, wajar saja dapat keuntungan. Keuntungannya itupun kan diatur sama pemerintah melalui Peraturan Menteri Perdagangan, termasuk biaya olah, harga CPO, harga referensi yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan (Kemendag).
“Jadi di sini tidak ada keuntungan secara berlebihan yang didapatkan produsen biodiesel. Karena semuanya telah diatur oleh peraturan yang dibuat pemerintah dalam hal ini Kemendag. Harga referensi merupakan patokan dari penetapan harga biodiesel maupun pembelian CPO,” katanya.
Suher menegaskan bahwa program mandatori biodiesel ini menjamin masa depan petani sawit. Karena dengan program ini akan terjadi multiplier effect. Pertama, petani akan mendapatkan harga yang menguntungkan dari TBS yang dijualnya, meskipun belum optimal.
Kedua, biodiesel itu juga berguna untuk rakyat Indonesia terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah karena pengguna biodiesel subsidi ini juga telah diatur oleh pemerintah, misalnya sopir truk, nelayan dan yang lainnya.
Ketiga, dengan program ini menghemat devisa negara. Dengan Program B35 yang diberlakukan saat ini berarti negara tidak perlu mengimpor sebanyak 35% solar yang dibutuhkan Indonesia.
Salah Kaprah
Kendati demikian, masih saja ada tudingan yang menyatakan kebijakan mandatori biodiesel ini menguntungkan produsen biodiesel yang notabene merupakan korporasi besar. Tudingan tersebut, salah satunya datang dari Anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka.
Menurutnya, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tidak adil dalam menyalurkan anggaran yang dikelolanya.
“Ada tiga perusahaan besar yang merupakan produsen biodiesel dapat Rp176 triliun atau sekitar 91,3% dari dana yang disalurkan BPDPKS. Sementara untuk kebutuhan perkebunan sawit rakyat di antaranya untuk replanting atau peremajaan sawit rakyat (PSR) hanya sekitar 0,37%,” kata Rieke Diah Pitaloka pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Direksi PTPN Holding dan Perhutani yang disiarkan melalui Instagram pribadinya riekediahp.
Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman membantah tudingan tersebut. Dia menegaskan penyaluran subsidi untuk selisih harga indeks pasar (HIP) biodiesel dan solar dengan pungutan ekspor kepada perusahaan sawit adalah hal yang berbeda.
“Tidak ada kaitannya antara pungutan ekspor dengan produksi ini. Itu berdiri sendiri-sendiri. Saya tekankan berdiri sendiri-sendiri. Banyak perusahaan biodiesel yang bukan eksportir,” kata Eddy.
Eddy menegaskan uang subsidi itu bukan untuk kepentingan pengusaha. Menurutnya, subsidi justru menjaga agar harga biodiesel dan solar di masyarakat terjangkau.
Dalam menyalurkan dananya, BPDPKS tidak membeda-bedakan antara kepentingan mandatori biodiesel dengan PSR. BPDPKS akan memberikan berapapun kebutuhan untuk PSR. Namun persoalannya selama ini, anggaran yang disiapkan BPDPKS untuk PSR selalu saja tak terserap 100%.
“Jangan membeda-bedakan antara biodiesel sama PSR. Berapa pun yang diperlukan untuk PSR akan kami kasih, sepanjang itu bisa terserap. Masalahnya gini loh, misal alokasikan Rp50 triliun, tapi kamu (petani) cuma bisa menyerap Rp1 triliun. Kan gak ada gunanya Rp50 triliun itu,” sambungnya.
Diketahui, BPDPKS dibentuk oleh Pemerintah untuk mendukung ketercapaian upaya mewujudkan sawit berkelanjutan. Sesuai dengan Perpres 61/2015 jo. Perpres 24/2016 jo. Perpres 66/2018, Pemerintah memberikan tugas kepada BPDPKS untuk menghimpun, mengembangkan, dan menggunakan Dana Perkebunan Kelapa Sawit bagi kemaslahatan industri sawit.
BPDPKS diberikan mandat untuk melakukan sejumlah tindakan, yakni: (1) pengembangan sumber daya manusia perkebunan kelapa sawit, (2) penelitian dan pengembangan perkebunan kelapa sawit, (3) promosi perkebunan kelapa sawit, (4) peremajaan perkebunan kelapa sawit, dan (5) sarana dan prasarana perkebunan kelapa sawit. Penggunaan dana di atas termasuk dalam rangka pemenuhan hasil perkebunan kelapa sawit untuk kebutuhan pangan, hilirisasi industri perkebunan kelapa sawit, serta penyediaan dan pemanfaatan bahan bakan nabati jenis biodiesel. (SDR)