Filantropis ternama ini teringat cerita yang pernah disampaikan dosennya saat menempuh pendidikan magister di Golden Gate University. Cerita itu menggambarkan bagaimana orang kaya seringkali diidentifikasikan dengan ketidakadilan.

Dosen Tahir bercerita tentang masa Perang Dunia II, ketika ekonomi Jerman sangat buruk. Banyak orang menganggur, namun beberapa industri tetap bertahan dan sejumlah orang masih hidup makmur. Suatu hari, seorang karyawan di pabrik yang bekerja meminta kenaikan gaji kepada pemilik pabrik yang kaya raya.

"Tuan, bolehkah saya mendapat gaji yang lebih tinggi? Saya tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan gaji saya sekarang," kata si karyawan.

Pemilik pabrik, yang kaya raya, menatapnya dengan sinis dan membawa karyawan itu ke halaman pabrik. Di balik pagar pabrik, ia menunjukkan ribuan orang yang menginginkan pekerjaan.

"Lihat! Ribuan orang berdiri di luar sana, berharap mendapatkan pekerjaan. Kamu mau gajimu dinaikkan? Ada banyak yang siap menggantikanmu," kata pemilik pabrik dengan nada keras. Karyawan itu hanya bisa terdiam, tak mampu berkata-kata.

Tahir menilai, itulah contoh orang kaya yang bisa bertindak semaunya tanpa memikirkan perasaan orang lain yang tingkat ekonominya jauh di bawah dirinya. Menjadi kaya bisa membuat seseorang kehilangan hati nurani dan kesadarannya untuk menyakiti perasaan orang lain. 

Baca Juga: Wisdom Dato Sri Tahir Ketika Mengembangkan Bisnis Media

“Kisah ini memberikan saya contoh tentang kondisi psikologis orang kaya. Kekayaan terkadang membuat orang mampu berbicara lebih lantang atau bertindak semaunya. Kekayaan juga bisa membuat orang menjadi sombong, suka menekan, menegaskan, dan menindas,” kata Tahir. 

“Hal ini tidak bisa dipungkiri dan sebenarnya saya sudah sering melihat hal ini dalam kehidupan saya dalam berbagai bentuk. Kisah ini melekat dalam pikiran saya dan menjadi semacam pengingat agar saya tidak menjadi orang yang menyedihkan,” tambahnya.

Bagi Tahir, uang memang punya kekuatan besar — ia bisa mengubah sikap, bahkan cara pandang seseorang terhadap dunia. Namun di tengah kekayaan yang dimilikinya, Tahir tetap memegang teguh satu hal, ia masih memandang hidup dengan pola pikir anak desa. Harta puluhan triliun rupiah tak lantas mengubah kepribadiannya. Ia percaya, harta bukan alasan untuk kehilangan jati diri. Sebaliknya, justru nilai-nilai sederhana dari masa kecil itulah yang membuatnya tetap membumi, sekaligus menjadi pegangan dalam setiap langkahnya hingga hari ini.