Salah satu faktor yang membuatnya tetap mempertahankan jati diri sebagai orang yang tidak kehilangan jati diri adalah kerinduan yang tak pernah padam pada Surabaya, pada sebuah tempat di Jalan Bunguran, rumah yang makin tampak usang. Tahir rindu kehangatan di dalam yang dulu diliputi kesederhanaan. Ia rindu suasana perjuangan yang berpadu kasih sayang. Surabaya dengan segala kenangan manis yang pernah dimiliki tak pernah lepas dari ingatan Tahir hingga saat ini.
“Kerinduan itu malah berlipat ganda. Aku selalu ingin kembali ke sana untuk berziarah ke makam ayahku, Ang Bun Ing. Sesungguhnya aku tak pernah bisa lepas dari masa laluku. Meski pekat kelam di dalamnya, ia telah menjadi akarku. Apa yang telah kucapai saat ini tak akan pernah bisa melampaui akarku,” akunya.
Bagi Tahir, benang merah antara masa lalunya yang penuh perjuangan dan pencapaian luar biasa hari ini terletak pada satu harapan besar: menciptakan kebahagiaan sejati dan menjaga martabat dirinya serta keluarganya.
Tahir percaya, cinta yang tulus dalam keluarga adalah pondasi utama. Ia pun berusaha memenuhi keluarganya dengan kasih sayang sebanyak mungkin, agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang bermartabat dan berguna bagi sesama. Sebab baginya, keberhasilan sejati tak hanya diukur dari harta, tapi dari nilai-nilai yang diwariskan dan manfaat yang ditinggalkan.
“Saya tidak ingin anak-anak saya menderita penghinaan apapun dalam hidup mereka. Caranya bukanlah dengan mengumpulkan kekayaan untuk diri mereka sendiri, tetapi dengan didorong untuk mengubah diri mereka menjadi individu yang saleh dan berguna,” imbuhnya.