Kulitnya yang hitam legam tampak bercahaya di bawah terik matahari siang itu. Sambil membawa cangkul, Marto Suwito bersama sang istri sibuk merawat tanaman tembakau di area persawahan milik keluarga. Sesekali senyum merekah di wajahnya.

Memasuki bulan Juni, para petani di Desa Karanggayam, Kebumen, Jawa Tengah, mulai sibuk menyiapkan lahan persawahan untuk menanam tembakau. Musim kemarau memang menjadi waktu yang tepat untuk menanam "emas hijau" ini, bergantian dengan padi yang ditanam saat musim penghujan.

Di bawah terik matahari siang itu, Marto Suwito (62) masih sibuk merawat tanaman tembakau yang baru berusia 20 hari. Bapak empat anak ini berkisah, bertani tembakau merupakan tradisi turun-temurun yang dilakukan petani di daerahnya. Ia mengaku, telah lebih dari 30 tahun berkutat dengan tanaman yang diperkirakan masuk ke Nusantara pada abad ke-16 ini.

"Daerah sini, mayoritas petani tembakau. Sebagai pribumi Karanggayam sini, tembakau ini seperti adat, naluri budaya. Kalau habis panen padi, menanam tembakau. Itu sudah pasti," ujarnya kepada redaksi Olenka di Karanggayam, Jawa Tengah, Jumat (30/5/2025).

Baca Juga: Industri Hasil Tembakau Hidupkan Ekonomi di Desa Petanahan Kebumen

Marto mengatakan, menanam tembakau tidaklah mudah. Menurutnya, tembakau harus cukup air, tetapi tidak boleh berlebihan. Merawat tembakau harus dilakukan dengan hati-hati dan sepenuh hati, selayaknya merawat seorang anak.

Belum lagi, cuaca yang tidak menentu semakin menyulitkan para petani. Mendekati bulan Juni, seharusnya cuaca sudah memasuki musim kemarau dengan intensitas hujan nol. Sayangnya, bulan Mei-Juni ini masih diperkirakan turun hujan. Kondisi tersebut mengancam kesuksesan panen tembakau pada tahun ini.

"Yang paling sulit dari menanam tembakau itu justru memeliharanya, susah seperti memelihara anak bayi, anak kecil," jelasnya sambil tertawa.

Ia menambahkan, tantangan lain yang kerap dihadapi oleh petani tembakau adalah penurunan harga jual. Ia berkisah, harga tembakau saat ini sedang mengalami penurunan. Dulu, tembakau kering bisa dijual hingga Rp120.000/kilogram (kg) atau Rp80.000/kg paling rendah. Saat ini, tembakau kering di desanya hanya bisa dijual di angka Rp50.000/kg.

Ada beberapa penyebab di balik hal itu. Dengan semakin banyaknya masyarakat yang terjun sebagai petani tembakau, ketersediaan komoditas ini di pasaran melimpah ruah. Namun, penyerapan ke industri tak sebanding. Belum lagi, praktik tengkulak yang masih marak membuat petani tak punya banyak pilihan dalam menjual hasil pertanian.

"Kalau sekarang, menjual (tembakau kering, red) Rp50 ribu saja susah. Saking banyaknya tembakau. Saya sudah punya langganan untuk jual tembakau. Tapi, pembayarannya kadang tidak langsung lunas. Sampai sekarang saja belum lunas," keluhnya.

Meski begitu, ia tetap bersyukur atas apa yang didapatnya. Sebagai lulusan SD, dia mampu menyekolahkan keempat anaknya hingga ke bangku SMA. Bahkan, sang anak bungsu berhasil menyelesaikan pendidikan hingga memperoleh gelar sarjana.

"Anak saya empat: laki-laki dua, perempuan dua. Sudah lulus semua. SMA. Yang terakhir ini, alhamdulillah, saya sebagai orang tua cuma bantu bisa kuliah. Sudah wisuda. Sudah dua tahun," ungkapnya dengan rasa bangga.

Penuh Harapan

Sambil sesekali melihat sekitar, pria kelahiran Kebumen ini terlihat gamang akan masa depan pertanian tembakau. Sambil menghela napas, dia mengungkapkan harapan kepada pemerintah agar budidaya tanaman yang berasal dari benua Amerika ini bisa lebih lestari di Tanah Air.

"Namanya pupuk lagi susah. Sebagai saya orang kecil sih enggak macam-macam mintanya. Apalagi, saya petani. Yang penting beli pupuk gampang. Terus bibit," tuturnya.

Selanjutnya, ia berharap agar distribusi tanaman tembakau bisa langsung kepada pengusaha atau pabrik rokok. Dengan begitu, petani bisa mendapatkan harga yang lebih baik.

"Tolong, terutama untuk pembuangan (penjualan, red) tembakau jangan selalu ke pasar. Kalau bisa sih, pabrik menarik ke petani langsung. Kalau pabrik menarik langsung, tengkulak-tengkulak pasar tidak selalu memojokkan petani tembakau," sebutnya.

Hal senada disampaikan oleh Ketua umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) Agus Parmuji yang memiliki harapan kepada pemerintah agar memberi perlindungan kepada para petani tembakau di Tanah Air.

Salah satu hal yang disoroti adalah perlindungan petani tembakau dari fenomena downtrading yakni peralihan konsumen ke produk hasil tembakau yang memiliki harga lebih murah, termasuk rokok ilegal. Ia mengatakan, fenomena ini terjadi karena adanya tekanan kebijakan nonfiskal dan fiskal terhadap industri tembakau.

"Jutaan petani tembakau menjadi terancam," katanya sebagaimana dikutip Olenka, Minggu (1/6/2025).

Perlu diketahui, kenaikan cukai rokok yang signifikan sejak tahun 2020 silam memang menjadi ancaman serius bagi industri tembakau. Pada tahun 2020, pemerintah Indonesia menetapkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) rata-rata sebesar 23%, sedangkan harga jual eceran (HJE) naik rata-rata sebesar 35%.

Kenaikan cukai tersebut tidak selaras dengan pertumbuhan ekonomi nasional sehingga melemahkan daya beli masyarakat. Alhasil, hal tersebut memberi dampak negatif terhadap kesejahteraan petani tembakau.