Regulasi pengendalian tembakau masih belum tegak dengan baik. Adapun, jumlah perokok dan korban dampak buruk rokok terus bertambah di Indonesia.

Hujan rintik tak mematahkan semangat Ipiha Ladiva (18 tahun) untuk tetap berolahraga di kawasan Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta. Sebab ia tahu, olahraga menjadi salah satu upaya untuk tetap sehat di tengah paparan sumber penyakit yang sempat membuatnya tumbang: asap rokok.

Diva melepas satu per satu headset di telinga sembari membalas sapaan dari tim redaksi Olenka. Berbalut senyum ramah, ia bercerita tentang dirinya yang merupakan penyintas infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Hampir sepuluh tahun lamanya, ia hidup berdampingan dengan sakit pernapasan tersebut.

Yang membuat ironis, penyakit yang ia derita sejak menduduki bangku sekolah dasar (SD) tersebut disebabkan oleh kebiasaan sang ayah merokok.

"Aku bukan perokok, tapi pernah kena sakit paru-paru karena ayah aku perokok aktif. Dari SD aku sudah sakit paru-paru sampai kelas 1 SMA. Saat sudah tidak tinggal dengan ayah, alhamdulillah aku sembuh," katanya kepada Olenka di Senayan, Jakarta, Selasa (3/6/2025).

Baca Juga: YJI: Implementasi PP 28/2024 Penting Guna Cegah Bahaya Rokok pada Anak dan Remaja

Raut wajah Diva yang awalnya ceria berganti menjadi mimik geram ketika menyebut bahwa dirinya bukan satu-satunya orang di keluarga yang sakit paru-paru. Sang ayah, tegasnya, sudah berkali-kali masuk rumah sakit gara-gara kebiasaan merokok. Akan tetapi, hal tersebut tak juga membuatnya berhenti merokok.

"Sampai sekarang ayahku sudah dirawat berkali-kali karena rokok. Bolak-balik rumah sakit, mengeluarkan biaya buat berobat, tapi tidak pernah kapok," kisahnya dengan gemas.

Sebagai korban yang terdampak langsung, Diva sangat berharap bahwa para perokok bisa lebih bertanggung jawab sehingga tidak merugikan orang lain. Setiap perokok, tegasnya, perlu memahami bahwa rokok memberi dampak buruk bagi kesehatan. Dampak buruk tersebut tidak hanya untuk perokok, tetapi juga orang lain di sekitar mereka.

"Rokok itu tidak baik buat diri kita sendiri, perhatikan juga orang di sekitar kita, lingkungan kita," katanya melanjutkan.

Kendati demikian, perempuan yang memiliki cita-cita sebagai polisi ini mengamini bahwa memberi edukasi tentang bahaya merokok itu tak mudah. Apalagi, jumlah perokok di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Perlu ada regulasi yang ketat dari pemerintah untuk mengendalikan produk tembakau.

Berdasarkan data Southeast Asia Tobacco Control Alliance (Seatca), jumlah perokok di Indonesia mencapai 65,7 juta orang. Jumlah perokok baru pada usia 10-19 tahun terus bertambah 16,8 juta orang per tahun. Hal tersebut membuat Indonesia masuk ke dalam kategori negara dengan tingkat perokok tertinggi di dunia. Saat ini Indonesia menempati posisi ketiga pasar rokok terbesar di dunia setelah China dan India.

Pengendalian Tembakau

Direktur Eksekutif Seatca, Ulysses Dorotheo, menegaskan pemerintah perlu membuat kebijakan dan regulasi yang tegas buat mengendalikan produk tembakau. Ia mengingatkan, apabila pemerintah tidak bertindak tegas maka masyarakat akan menjadi korban dampak buruk rokok.

"Dunia melakukan kesalahan dengan mengizinkan perusahaan tembakau membuat dan menjual rokok," katanya sebagaimana dikutip oleh Olenka di Jakarta, Sabtu (7/6/2025).

Produk tembakau tak hanya memberikan dampak negatif kepada sektor kesehatan, tetapi juga menimbulkan masalah sosial dan ekonomi. Berdasarkan kajian Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), beban ekonomi akibat rokok mencakup biaya langsung dan tidak langsung mencapai Rp446,73 triliun. Beban biaya ini akan terus meningkat apabila tidak ada pengendalian prevalensi perokok.

Hal senada disampaikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang mengingatkan bahwa perlu ada pengendalian tembakau guna menghentikan dampak buruk rokok. Dampak buruk tersebut seperti kasus kematian dini pada perokok, dampak buruk pada perokok pasif, hingga biaya pengobatan di fasilitas kesehatan untuk menangani penyakit akibat rokok.

Survei Kesehatan Indonesia (SKI) mencatat, angka kematian akibat perilaku merokok di Indonesia sebanyak 290 ribu jiwa per tahun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 59,6 persen kematian merupakan penyakit kanker trakea, bronkus, dan paru-paru.

Perwakilan WHO, Jos Vandelaer, mengatakan pengendalian tembakau sangat penting guna melindungi generasi muda dari ancaman produk tembakau. Ia mengatakan, generasi muda kerap menjadi sasaran pemasaran produk-produk tembakau.

"Ini harus dihentikan (penggunaan tembakau)," katanya.

Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS), usia anak yang mulai merokok pertama kali semakin muda dan jumlah terus bertambah dari tahun ke tahun. Negara-negara yang memiliki catatan prevalensi penggunaan produk tembakau tertinggi di kalangan remaja pada umumnya memiliki skor indeks pembangunan manusia yang rendah.

Tentu saja, pemerintah Indonesia tak tinggal diam menyaksikan generasi muda terancam bahaya produk tembakau. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan pemerintah Indonesia memiliki komitmen kuat untuk melindungi generasi muda dari bahaya produk tembakau.

Siti Nadia mengatakan, industri tembakau gencar melakukan promosi kepada generasi muda dengan menawarkan produk rokok elektronik dengan berbagai macam varian rasa yang memberi kesan modern dan kekinian. 

"Sekarang isu di perokok pemula atau remaja itu lebih pada bagaimana kita membentengi anak-anak kita," katanya.

Upaya Pemerintah

Upaya pemerintah untuk melakukan pengendalian tembakau di Indonesia tentu tidak mudah. Ada banyak resistensi dan penolakan dari pelaku industri tembakau atas berbagai regulasi pemerintah. Salah satu penolakan yang dihadapi adalah soal kebijakan untuk standar kemasan rokok.

Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kementerian Kesehatan, Benget Saragih, mengatakan perumusan kebijakan standardisasi kemasan rokok banyak menghadapi tantangan. Ia mengemukakan, berbagai penolakan di antaranya risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) massal hingga kerugian bisnis pelaku UMKM.

Sayangnya, penolakan-penolakan tersebut tidak hanya datang dari masyarakat sipil atau pelaku industri tembakau, tetapi juga berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan beberapa kementerian atau lembaga.

"(Kebijakan standardisasi kemasan ini) akan memicu banyak rokok ilegal dengan kemasan polos," katanya di Jakarta, belum lama ini.

Ia berharap agar seluruh jaringan anti-tembakau, komunitas, hingga masyarakat sipil bisa terus mengawal dan mendukung kebijakan standar kemasan rokok untuk melindungi generasi muda. Ia menegaskan, regulasi pengendalian tembakau tidak bertujuan untuk menghambat usaha pelaku UMKM. Regulasi ini justru untuk mendukung penciptaan lingkungan usaha yang lebih sehat sekaligus memberikan peluang agar pelaku UMKM bisa tumbuh dengan produk-produk yang sehat dan berkelanjutan.

Perlu diketahui, Kementerian Kesehatan tengah menyusun Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) tentang standar kemasan rokok. Selain itu, pemerintah telah menghadirkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang diharapkan bisa menjadi langkah konkret guna menghadapi lonjakan konsumsi rokok konvensional maupun elektronik, terutama di kalangan anak-anak dan remaja.

Beberapa hal yang coba diregulasi oleh pemerintah untuk mengendalikan tembakau seperti larangan penjualan rokok ketengan per batang, larangan iklan rokok, hingga larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.