Proyek Senen: Saat Jakarta Mengenal Pusat Perdagangan Modern

Era kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin menandai percepatan pembangunan Jakarta, termasuk proyek Senen yang digagas oleh Ciputra. Pembangunan berjalan cepat. Tahun itu juga, Blok I berhasil diselesaikan.

“Gedung pertokoan setinggi empat lantai dengan luas tak kurang dari 28.551 meter persegi. Megah. Modern. Bersih. Terang benderang. Jakarta terkesima,” terang Ciputra.

Menurutnya, Bung Karno dan Bang Ali sangat puas melihat hasilnya. Masyarakat pun berduyun-duyun mendekat, menatap bangunan itu dengan takjub. Proyek Senen menjadi pusat perdagangan modern pertama di Jakarta, bahkan Indonesia, dengan beberapa lantai. Sebuah terobosan besar pada masanya.

“Kami dianggap berhasil! Setelah bertahun-tahun dihajar rasa letih dan tekanan mental,” tukas Ciputra.

Dikatakan Ciputra, sebenarnya, keraguan sempat muncul sebelum pembangunan rampung. Banyak yang menilai masyarakat Indonesia belum tentu menyukai pusat pertokoan modern, apalagi setelah bertahun-tahun terbiasa berbelanja di pasar tradisional yang sederhana.

Namun kenyataan berbicara lain. Pertokoan Blok I laris manis. Pedagang-pedagang yang sebelumnya menolak kini justru berebut membeli toko. Bahkan, pedagang dari kawasan dagang lain di Jakarta pun ikut bergabung.

“Betapa gembiranya kami semua. Runtuhlah pemikiran yang meragukan apakah Proyek Senen bisa sukses seperti saat berupa pasar kumuh. Ternyata pandangan itu keliru total,” ungkapnya.

Menurut Ciputra, proyek Senen yang bersih, terang, dan modern, menjadi pusat belanja yang ramai. Para pedagang mengaku penjualan dagangan mereka cukup bagus. Keberhasilan ini juga didukung oleh pengelolaan kebersihan yang terencana dengan baik.

“Soal sampah juga tidak jadi masalah. Truk-truk sampah dari dinas kebersihan DKI Jakarta mengangkut secara rutin sampah di Proyek Senen dan membawanya ke pembuangan resmi. Proyek Senen senantiasa bersih,” paparnya.

Keberhasilan Blok I ini kemudian memicu pembangunan blok-blok berikutnya. Kata Ciputra, proyek Senen pun menjadi bukti bagaimana visi dan keberanian berinovasi dapat mengubah wajah sebuah kota dan mengangkat taraf hidup banyak orang.

Keberhasilan yang Menggores Hati

Tahun 1967 menjadi tonggak penting dalam perjalanan pembangunan Pasar Senen. Saat itu, pembangunan Blok II dimulai. Bagi Ciputra dan timnya, proyek ini adalah kelanjutan dari mimpi besar merevitalisasi kawasan kumuh menjadi pusat perdagangan modern. Mereka telah banyak belajar dari pembangunan Blok I sebelumnya.

“Masih ada saja yang mengganggu dan mengintimidasi. Tapi proyek terus berjalan,” kenang Ciputra tentang kerasnya tantangan di lapangan saat itu.

Namun di tengah keberhasilan yang diraih, ada momen yang membuat hatinya terluka. Suatu hari, ia melihat seorang perempuan duduk begitu saja di tanah dekat proyek Blok II.

Perempuan itu mengalami gangguan jiwa, menangis, tertawa, memaki tanpa arah. Orang-orang di sekitarnya mengatakan bahwa ia menjadi gila setelah tak tahan menanggung stres akibat penggusuran dari Pasar Senen.

“Hati saya menangis menatap perempuan itu. Tapi mau bagaimana lagi? Ah, ini memang proyek yang sulit,” ujar Ciputra.

Seiring waktu, Blok II akhirnya berhasil diselesaikan tanpa kesulitan berarti dan kembali menuai sukses. Melihat keberhasilan ini, Gubernur Ali Sadikin meminta Ciputra untuk melanjutkan pembangunan Blok III bersamaan dengan Blok II. Namun, Ciputra menolak.

“Kami harus berkonsentrasi untuk setiap blok yang kami buat. SDM kami terbatas. Kedua, dananya tidak cukup,” terangnya.

Akhirnya, pembangunan Blok III dikerjakan oleh PD Pasar Jaya, sementara Ciputra dan timnya melanjutkan pembangunan Blok IV di sebelah timur area Senen. Di sana, atas permintaan Bang Ali, mereka juga membangun sebuah Pasar Inpres, yang kembali meraih kesuksesan.

Namun, tantangan terbesar menanti di area terakhir, yakni di Segitiga Senen, area barat Pasar Senen yang sangat padat dan dihuni oleh ‘orang-orang terkuat’ di kawasan itu.

Bang Ali memiliki visi besar untuk mengubah Segitiga Senen menjadi kawasan modern dengan rumah susun, kompleks pertokoan, dan gedung perkantoran. Area hampir tujuh hektare ini menjadi tempat hidup ribuan orang, lengkap dengan rumah, kantor, dan berbagai tempat usaha.

Saat menatap rencana itu, Ciputra hanya bisa menghela napas panjang.

“Lelah. Proyek Senen yang prosesnya dimulai sejak 1961 adalah sebuah perjalanan panjang pembangunan yang meletihkan lahir dan batin,” bebernya.

Ia merasa cukup puas telah berhasil membangun tiga blok megah yang terbukti sukses, yakni Blok I, Blok II, dan Blok IV. Namun, di balik keberhasilan fisik itu, ada perasaan pedih yang terus menghantuinya.

“Kenyang batin saya oleh kepedihan yang muncul akibat riak emosi dari orang-orang yang tergusur. Cukup sudah,” tuturnya lirih.

Bagi Ciputra, tangis, kemarahan, dan kehancuran hidup orang-orang yang terpaksa meninggalkan Pasar Senen menjadi bayangan buruk yang tak bisa dihapus.

“Walau gedung yang kami bangun terbilang sukses, bagi saya sejarah karya saya di sana dinodai oleh tangis dan kemarahan orang-orang. Saya tidak sepenuhnya berhasil karena ada orang-orang yang menderita karenanya,” tegas Ciputra.

Baca Juga: Tangan Dingin Ciputra Memoles Wajah Pasar Senen: Ide Cemerlang yang Menembus Batas Istana